Malam itu adikku mengirim sebuah foto via pesan WhatsApp, menggambarkan dirinya tersenyum sembari diinfus di salah satu rumah sakit di Singkawang. Tentu saja hati menjadi bimbang sakit apa yang menimpa adikku, tak ingin ku membuatnya semakin tergerogoti penyakitnya ku balas pesannya dengan candaan.

Beberapa hari kemudian aku mendapat pesan dari ibuku yang meminta aku ke Singkawang untuk menemani adikku yang terbaring di rumah sakit, pada awalnya tidak ku respon pesan ibuku dengan beberapa pertimbangan dimana berat rasanya untuk meninggalkan Kota Pontianak, kota yang sudah kutinggali sejak perkuliahan dan tempatku untuk membangun beberapa relasi organisatoris dan kerja. 

Kemudian ayahku juga mengirimkan pesan untuk aku pergi ke Singkawang, entah mengapa aku meresponnya begitu kulihat pesannya dan aku meng-iyakannya. Siang, aku mencuci baju untuk bekalku menuju Singkawang. Sore, aku menyarter salah satu bis yang menuju Sambas untuk kunaiki (bis tujuan Sambas lewat Singkawang), aku membawa beberapa pakaian dan sepeda.

Sepanjang perjalanan sedih menghantuiku, entah mengapa Kota Pontianak begitu berkesan bagiku dengan dinamika kehidupannya. Setiap kali orangtuaku meminta aku untuk ke Singkawang aku selalu memiliki banyak alasan untuk menolaknya, orangtuaku pun tak habis akal untuk memintaku ke Singkawang, banyak dalih yang mereka gunakan. Mungkin kali ini aku tak bisa menolak mereka karena adikku sakit dan rawat inap di rumah sakit.

Singkat cerita pukul 4 subuh aku tiba di depan gang rumahku lalu ku lanjutkan dengan sepeda yang kubawa dari Pontianak ke rumahku yang tak jauh dari tempat aku berhenti. Di rumah aku tak bisa tidur karena kelaparan.

Saat pagi ibuku bercerita apa yang dialami adikku. Diagnosis sementara dari dokter, adikku menderita meningitis, sontak aku kaget tanpa menampakkan ekspresi sedih di wajahku. Adikku sering mengeluh sakit kepala berat namun tidak setiap saat, sekalinya kambuh begitu sakit di kepalanya. Ibuku bilang sejak kecil dia tak menyusu ASI yang menyebabkan dia rentan terhadap penyakit atau ketahanan tubuhnya lemah. Entah bagaimana aku meresponnya, aku selalu tak ingin membuatnya semakin khawatir dengan kondisinya yang begitu menyakitkan, tak pernah kutampakkan raut sedih. Namun, dari dalam diriku terus meringis tak henti-henti, tak ingin ditinggalkan satu-satunya adik perempuanku. 

Tulisan ini kudedikasikan untuk adik perempuanku tercinta, setiap malam selalu terlintas bagaimana jika dia benar-benar mengidap meningitis?