Ketika kamu memulai perjalanan dengan keyakinan, jalan akan memperlihatkan dirinya. — Jalaluddin Rumi

Pernahkah kamu berpikir, Aku pasti gagal, lalu tanpa sadar kamu berhenti berusaha, dan akhirnya benar-benar gagal? Atau sebaliknya, ketika seseorang mempercayai kamu mampu, kamu jadi lebih percaya diri dan justru berhasil? Fenomena psikologis ini bukan sekadar perasaan biasa — istilah psikologi ini dikenal sebagai self-fulfilling prophecy atau dalam bahasa Indonesia ramalan yang terpenuhi sendiri. Konsep ini menunjukkan bahwa keyakinan atau ekspektasi awal seseorang dapat mempengaruhi tindakan sehingga ekspektasi itu sendiri menjadi kenyataan — bahkan ketika awalnya itu tidak benar.

Self-fulfilling prophecy adalah sebuah fenomena di mana prediksi atau harapan tentang suatu hasil justru membuat hasil itu benar-benar terjadi, karena cara kita berpikir dan bertindak berubah mengikuti ekspektasi tersebut. Pada awalnya prediksi itu bisa saja salah atau tidak berdasar, tetapi perilaku yang dipicu oleh keyakinan itu sendiri membuatnya menjadi nyata.

Konsep ini pertama kali dikemukakan secara luas oleh sosiolog Robert K. Merton pada tahun 1948. Menurutnya, ketika orang mendefinisikan suatu situasi sebagai nyata, maka konsekuensinya akan menjadi nyata pula — meskipun pendefinisian itu mungkin salah. Pendekatan ini kemudian menjadi salah satu fondasi memahami bagaimana harapan sosial dan keyakinan mempengaruhi perilaku manusia.

Salah satu contoh paling terkenal datang dari studi Rosenthal & Jacobson (1968) di sekolah dasar. Dalam penelitian ini, guru diberitahu bahwa sebagian murid dipilih sebagai berpotensi tinggi meskipun pemilihan itu acak. Setelah beberapa bulan, murid-murid yang diberi label tersebut menunjukkan peningkatan prestasi — sebagian karena guru memperlakukan mereka dengan lebih positif dan mereka mulai merasa mampu mencapai ekspektasi tersebut. Ini dikenal sebagai Pygmalion Effect, sebuah bentuk positif dari self-fulfilling prophecy dalam konteks pendidikan. 

Selain itu, dalam kehidupan nyata kita juga bisa melihat contoh lain, penelitian di Indonesia menemukan bahwa sensitivitas terhadap penolakan dalam hubungan asmara dapat memicu self-fulfilling prophecy, di mana kecemasan terhadap penolakan membuat seseorang berperilaku yang malah menurunkan intensitas dalam hubungan.

Penelitian yang berbeda menunjukkan bahwa locus of control (keyakinan tentang seberapa besar seseorang mengendalikan hidupnya) berkaitan kuat dengan self-fulfilling prophecy, terutama dalam konteks pengalaman negatif seperti kekalahan dalam judi online — semakin rendah kontrol internal, semakin rentan seseorang terhadap ramalan yang memenuhi dirinya sendiri.

Fenomena ini sering terjadi karena cara otak kita bekerja: ketika kita meyakini sesuatu, kita bertindak sesuai keyakinan itu — baik secara sadar maupun tidak sadar. Interaksi sosial, komunikasi, label yang diberikan orang lain, atau bahkan pikiran sendiri bisa membentuk perilaku yang kemudian menguatkan kembali keyakinan awal tersebut. Dengan kata lain, ada semacam lingkaran umpan balik positif antara pikiran, perilaku, dan hasil yang dialami.

Sederhananya jika seorang guru berpikir murid A pintar, guru itu mungkin lebih sering memberi perhatian dan tantangan ke murid A. Murid A pun bertambah percaya diri, berusaha lebih keras, dan hasilnya meningkat — akhirnya prediksi guru tersebut terbukti benar. Sebaliknya, prediksi negatif bisa membuat seseorang merasa tidak mampu, kurang berusaha, dan akhirnya memang tidak berhasil. 

Self-fulfilling prophecy tidak hanya terjadi di kelas atau penelitian. Ia muncul juga dalam:

Hubungan pribadi: Ketika pasangan yakin akan ditinggalkan, mereka bisa menjadi terlalu cemas atau menjauh, yang justru menyebabkan masalah yang dihindari itu terjadi.

Lingkungan kerja: Ekspektasi atasan terhadap karyawan dapat memengaruhi performa tim, baik secara positif maupun negatif tergantung pada bagaimana ekspektasi itu disampaikan.

Persepsi diri sendiri: Ketika kita yakin tidak bisa, kita mungkin berhenti mencoba dan akhirnya memang gagal — bukan karena kita tidak mampu, tetapi karena keyakinan itu mengubah cara kita berperilaku.

Self-fulfilling prophecy mengingatkan kita bahwa cara kita berpikir memiliki kekuatan besar dalam membentuk kenyataan yang kita jalani. Jika pikiran negatif saja bisa mendorong hasil buruk, bayangkan apa yang dapat terjadi ketika kita memilih untuk menanamkan keyakinan positif pada diri sendiri. Setiap langkah kecil menuju pola pikir yang lebih optimis adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik—lebih percaya diri, lebih berani mencoba, dan lebih terbuka pada peluang. Karena itu, mari mulai memberi ruang lebih banyak untuk pikiran dan menanamkan sugesti positif kepada diri sendiri. Dengan memilih untuk percaya pada kemampuan kita, kita sedang membangun kemungkinan terbaik untuk diri kita sendiri.

Wildan Mubaarak Kamis, Desember 11, 2025
Read more ...

Aku bangga sudah hidup hingga detik ini, banyak pembelajaran yang kudapati dari berbagai kejadian, entah itu yang membuatku bahagia maupun sedih. Setahun belakangan, ada satu keputusan besar kuambil tentu dengan resiko besar pula, aku meraih seseorang-seorang wanita-yang baru saja kandas dari dua tahun lebih hubungannya.

Entah apa yang ada di benakku saat itu, awal mulanya aku melihat postingan foto di x dan aku mereply dengan “otpit paporit” tak aku sangka direply balik sama pemilik postingan tersebut, berlanjutlah kami ke dm. Kami intens berkomunikasi via x semenjak komunikasi pertama kami-serasa sudah lama saling mengenal-padahal waktu itu tepat sebulan setelah dia putus dengan pacarnya. Semua, terasa singkat hingga akhirnya kami bertemu untuk pertama kali. Pada pertemuan pertama kami sibuk dengan laptop kami masing-masing, dia dengan skripsinya dan aku dengan magic chessku hehe-niatnya belajar buat tes cpns, kesan pertamaku-yang selalu pengen dia dengar hingga hubungan kami kandas-dia memiliki pribadi yang tenang, perhatian, dan menurutku motherable bangetlah, bagaimana aku tidak tertarik? Hujan dan dingin jadi teman kami hingga aku tak henti-hentinya bersin, sesaat ketika kami ingin pulang sendalku putus HAHAHA-sedikit malu sebenarnya.

Hari demi hari berlalu, saat-saat itu aku bahagia dan beruntung begitu dekat dengannya, di lain sisi aku juga merasa ragu untuk melangkah lebih jauh dengannya-aku masih melihat postingan lamanya dengan pria sebelum aku a.k.a mantannya, namun hatiku selalu meyakinkanku untuk terus melanjutkan kedekatan kami. Bayangkan saja sehari selepas kami bertemu aku mengabulkan keinginan pertamanya-lebih ke ke-bm-an dia sih. Saat itu, aku melihat tweet-nya kalau dia ingin makan rujak, hatiku tergerak untuk membelikan dan mengantarkan rujak ke tempat kerjanya, aku senang sekali melihat ekspresinya saat dia menerima rujak yang kubeli-walau akhirnya dia kepedasan WKWK.

Sejak kejadian rujak, aku pun sering membelikannya berbagai jajanan-namanya juga lagi PDKT. Kami pun akhirnya jadi sering bertemu entah itu untuk sekedar ngopi atau bermain game bersama-banyak nge-netflix sih ya WKWK padahal gamehouse, hal itu pun hubungan kami semakin erat. Ada satu kejadian yang membuat hubungan kami sedikit renggang, saat itu aku mengatakan beberapa kebohongan kepadanya, tau apa responnya? “Mulai lagi dari nol yaa kak” begitulah katanya, di titik itu aku merasa kecewa pada diriku, aku sudah sedikit membangun kepercayaannya padaku namun aku runtuhkan-saat itu aku sedih. Aku tidak pantang menyerah, aku terus membangun ulang kepercayaannya karena aku yakin untuk bersamanya.

Seperti yang aku bilang di awal aku sedang dalam masa tes CPNS tentu aku semakin bersemangat untuk lolos kala itu. Namun, takdir berkata lain aku dinyatakan tidak lolos, hatiku hancur serasa dunia begitu jahat padaku sampai-sampai melakukan self-harm-first time. Aku bersyukur ada dia menguatkanku di saat itu, dia selalu mendukung dan menemani hingga perasaanku berangsur membaik.

Menjelang akhir tahun, aku berniat mengajaknya untuk menghabiskan waktu bersama melihat kembang api di Gajah Mada-walau aku tidak pernah. Sialnya, aku telat dia sudah ada rencana bersama sahabat-sahabatnya, alakadarnya aku menghabiskan waktu di rumah berbaring dan merenung-apa yang aku bisa lakukan buat 2025.

2025. Awal tahun, rencana baru, resolusi baru, kehidupan baru. Kedekatan kami pun masuk ke jenjang saling percaya dengan semakin intens-nya kami bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Sampailah bula februari, kami ikut merayakan tahun baru china di Gajah Mada, kali pertamaku merayakan event tahunan dengan kerumunan yang begitu ramai hingga sesak. Bulan-bulan berikutnya kami mencoba banyak hal baru bersama, tentu dengan dibumbui beberapa konflik juga. Mulai dari aku yang mulai nge-grab kembali, kami pergi liburan bersama, dia yang sudah selesai kontrak kerjanya, merayakan ulang tahunku, merayakan ulang tahunnya-walau tak semeriah ulang tahunku, dia seminar proposal hingga sidang, dan banyak lagi hal bahagia yang kami lakukan.

Semua terasa bahagia bagi kami hingga depresiku relapse, masa-masa suram mulai menghantam hubungan kami. Banyak kejadian buruk menerpa hubungan kami, aku tidak lagi bisa merasakan diriku lagi, aku menjelma seseorang yang bukan diriku. Pikiranku terasa amat berat dan suram, aku tak bisa merasakan kehadirannya di sampingku, aku merasa sendiri-maafkan aku. Perasaanku saat itu tak bisa aku kontrol-di luar kendaliku, aku menjelma jadi sosok yang paling egois dengan selalu mengedepankan kepentinganku sendiri tanpa memikirkannya, aku selalu berusaha terlihat baik-baik saja saat bertemu dengannya namun setelah kami bertemu aku merasakan dunia yang seakan-akan aku hidup sendiri di dalamnya. Secara tidak sadar aku banyak menyakitinya, membuatnya merasa tidak dihargai, tidak dianggap, dan banyak hal buruk yang aku lakukan padanya.

Pada akhirnya, dia memutuskan untuk pergi. Tentu aku tidak bisa menyalahkannya, semua karena diriku. Tulisan ini aku tulis agar supaya aku rela melepas kepergiannya, aku ikhlas. Dengan ini, terima kasih untuk semua pembelajaran dan perasaan yang sudah kamu kasih, aku sama sekali tidak membencimu hingga akhir, aku melepaskan energimu dengan ikhlas. Terima kasih sudah hadir dan mewarnai hidupku.


Wildan Mubaarak Senin, Desember 08, 2025
Read more ...


Pernahkah kamu merasa berjalan begitu jauh, namun entah sejak kapan arah itu menghilang? Seperti melangkah di lorong gelap yang sunyi, di mana suara hatimu sendiri pun terasa semakin pelan. Ada hari-hari ketika semuanya tampak baik-baik saja dari luar, tetapi di dalam, ada bagian diri yang perlahan meredup—seakan tujuan yang dulu pernah membakar semangat kini hanya tinggal bara kecil. Kita jarang membicarakannya, mungkin karena takut terlihat lemah, atau karena bahkan kita sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Dalam dunia psikologi kondisi tersebut berkaitan dengan Purpose depletion.

Purpose depletion merupakan kondisi ketika seseorang merasa kehilangan tujuan dan arah untuk menjalani hidup. Fenomena ini tidak hanya berkaitan dengan kelelahan fisik, tetapi lebih kepada merosotnya motivasi intrinsik yang membuat seseorang merasa kosong, tidak terhubung dengan apa yang dikerjakan, dan tidak lagi memiliki dorongan internal untuk bergerak maju. Dalam kehidupan modern yang penuh tekanan, kompetisi, dan tuntutan produktivitas, kondisi ini semakin sering muncul sebagai bentuk kelelahan psikologis yang bersifat mendalam.

Self-Determination Theory (SDT) yang dikembangkan oleh Edward L. Deci dan Richard M. Ryan memberikan perspektif yang relevan untuk memahami mengapa purpose depletion terjadi. Dalam teori ini, manusia memiliki tiga kebutuhan psikologis dasar yang harus terpenuhi agar motivasi intrinsik dapat berkembang secara optimal, yaitu otonomi, kompetensi, dan relasi. Ketika salah satu atau beberapa kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, individu lebih rentan mengalami penurunan motivasi dan pada akhirnya masuk ke dalam kondisi purpose depletion.

Otonomi, perasaan memiliki kendali atas pilihan dan tindakan yang dilakukan. Purpose depletion sering muncul ketika individu menjalani aktivitas yang tidak lagi mencerminkan nilai personalnya. Dalam kondisi ini, seseorang tidak lagi merasa memiliki tujuan tersebut, aktivitas yang semula bermakna berubah menjadi sekadar kewajiban yang melelahkan.

Kompetensi, perasaan mampu dan efektif dalam menghadapi tantangan. Ketika seseorang merasa stagnan, kurang dihargai, atau terus-menerus gagal memenuhi ekspektasi, rasa kompeten menjadi menurun. Akibatnya, kita mulai mempertanyakan makna dari tujuan yang dikejar karena tidak lagi merasa memiliki kemampuan untuk mencapainya.

Relasi, kebutuhan untuk merasa terhubung dan diterima oleh orang lain. Tujuan hidup sering kali memiliki konteks sosial yang kuat, sehingga ketika individu merasa terisolasi, tidak didukung, atau kehilangan hubungan bermakna, tujuan tersebut kehilangan bobot emosionalnya. Keterputusan ini membuat seseorang merasa berjalan sendirian, sehingga motivasi internal melemah dan arah hidup menjadi kabur.

Purpose depletion bukan sekadar hilangnya tujuan, melainkan manifestasi dari ketidakmampuan lingkungan atau pengalaman hidup untuk mendukung pemenuhan ketiga kebutuhan dasar tersebut. Lingkungan yang penuh tekanan, ekspektasi eksternal yang berlebihan, kurangnya ruang untuk mengambil keputusan, dan minimnya hubungan suportif dapat membentuk kondisi di mana motivasi intrinsik tergerus perlahan.

Namun, purpose depletion bukan kondisi permanen. Memulihkan otonomi dapat dilakukan dengan mengatur ulang prioritas, menyelaraskan kembali aktivitas dengan nilai diri, dan memberi ruang bagi pilihan yang lebih otonom. Meningkatkan kompetensi dapat dicapai dengan mencari tantangan yang realistis, mengembangkan keterampilan baru, serta menghargai kemajuan kecil yang dicapai. Sementara itu, memperkuat relasi dapat dilakukan dengan membangun hubungan yang suportif, mencari komunitas yang relevan, dan membuka diri terhadap dukungan emosional.

Jika kita tarik benang merahnya, purpose depletion adalah sinyal penting bahwa kebutuhan psikologis dasar tidak terpenuhi. Dengan menggunakan perspektif Self-Determination Theory, kita dapat memahami bahwa menemukan kembali tujuan bukan hanya tentang merumuskan target baru, tetapi tentang menciptakan kondisi psikologis yang mendukung pertumbuhan motivasi intrinsik. Ketika tiga komponen SDT kembali terpenuhi, kita dapat menemukan makna, arah, serta tujuan hidup yang lebih autentik dan berkelanjutan.

Wildan Mubaarak Kamis, Desember 04, 2025
Read more ...

Dinamika hubungan manusia begitu kompleks, terutama hubungan romantis dan keluarga, sering muncul pola perilaku yang pada permukaan tampak seperti kebaikan, pengertian, dan penyesuaian diri. Namun, di balik itu bisa tersembunyi mekanisme bertahan hidup yang jauh lebih kompleks, yaitu Fawn Response. Istilah ini merujuk pada respons seseorang yang secara otomatis berusaha menyenangkan, menenangkan, atau mengikuti keinginan orang lain demi menghindari konflik, penolakan, atau ancaman emosional. Dalam hubungan, Fawn Response dapat membentuk pola interaksi yang tidak seimbang seperti menguras emosi dan mengaburkan identitas diri.

Fawn Response bukan sekadar tindakan menjadi baik atau kooperatif. Ia adalah reaksi yang tertanam dari pengalaman masa lalu, terutama ketika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang tidak stabil secara emosional—misalnya dengan pengasuh yang mudah marah, manipulatif, tidak konsisten, atau memberi kasih sayang secara bersyarat. Anak yang mengandalkan strategi “menyenangkan orang” untuk menghindari amarah atau mendapatkan perhatian dapat membawa pola ini hingga dewasa. Ketika memasuki hubungan romantis atau pertemanan, respons tersebut aktif kembali sebagai cara menjaga keselamatan emosional.

Dalam hubungan, Fawn Response muncul melalui berbagai perilaku yang sering tidak disadari. Seseorang mungkin kesulitan mengatakan “tidak,” bahkan pada hal-hal kecil, karena takut mengecewakan pasangan. Mereka cenderung menghindari konflik dan merasa bertanggung jawab atas suasana emosional dalam hubungan. Perbedaan pendapat dianggap sebagai ancaman, bukan hal wajar yang muncul dalam relasi sehat. Orang dengan Fawn Response juga sering merasionalisasi perilaku buruk pasangan, merasa bersalah atas hal-hal yang bukan kesalahannya, dan selalu berusaha “menenangkan” situasi meskipun itu merugikan dirinya.

Dampaknya bisa sangat besar. Fawn Response dapat menciptakan hubungan yang tidak seimbang, di mana satu pihak terus memberi sementara pihak lain terus menerima. Individu yang terjebak dalam pola ini berisiko terlibat dalam hubungan manipulatif atau bahkan abusif karena pola menyenangkan orang membuat mereka kurang mampu menetapkan batas. Secara internal, mereka dapat kehilangan koneksi dengan kebutuhan dan identitas diri. Perasaan, keinginan, dan kenyamanan pribadi sering ditekan begitu lama hingga akhirnya mereka lupa siapa diri mereka di luar hubungan tersebut. Meskipun tampak tenang dan kooperatif, ada tekanan emosional yang terus menumpuk dan berpotensi meledak dalam bentuk kecemasan, kelelahan emosional, atau depresi.

Namun, penting untuk dipahami bahwa Fawn Response bukan kelemahan pribadi, melainkan respons trauma yang berkembang untuk melindungi diri. Ini adalah pilihan terbaik yang dimiliki seseorang pada masa ia tidak punya kontrol atau dukungan. Memahami hal ini membuka pintu bagi pemulihan. Penyembuhan bukanlah proses menghilangkan kebaikan atau empati, melainkan membangun kembali kemampuan untuk mengatakan kebenaran dan menetapkan batas diri.

Pemulihan dapat dimulai dari langkah-langkah kecil seperti belajar mengidentifikasi apa yang sebenarnya diinginkan atau dirasakan. Mengutarakan pendapat sederhana atau menetapkan batas kecil dapat membantu otak dan tubuh menyadari bahwa perbedaan tidak selalu berbahaya. Mengembangkan toleransi terhadap ketidaknyamanan juga penting, karena hubungan sehat tidak selalu berjalan mulus. Dukungan profesional, terutama terapi yang berfokus pada trauma, sangat membantu dalam membongkar pola lama dan membangun pola hubungan baru yang lebih aman.

Selain itu, latihan regulasi sistem saraf—misalnya teknik pernapasan, grounding, atau praktik somatik lainnya—dapat membantu menenangkan tubuh yang otomatis masuk ke mode “please” ketika merasakan potensi konflik. Jika pasangan adalah orang yang aman dan suportif, komunikasi terbuka tentang pola ini juga penting. Pasangan yang sehat akan memahami bahwa proses ini adalah bagian dari upaya menjadi lebih otentik dan membangun hubungan yang lebih setara.

Pada akhirnya, hubungan yang sehat bukanlah hubungan tanpa konflik, melainkan hubungan di mana kedua pihak merasa aman untuk menjadi diri sendiri. Tidak ada rasa takut ditinggalkan hanya karena mengatakan pendapat atau menetapkan batas. Tidak ada kewajiban diam-diam untuk terus menyenangkan agar cinta tetap diberikan. Ketika seseorang berhasil keluar dari pola Fawn Response, ia mulai menemukan kembali suaranya, kebutuhannya, dan identitasnya—dan dari sanalah hubungan yang benar-benar intim dan setara dapat terbentuk.

Fawn Response dalam hubungan adalah cerminan luka lama, namun juga pintu menuju kesadaran baru. Dengan memahami mekanismenya, mengenali tandanya, dan merawat diri secara perlahan, seseorang dapat membangun hubungan yang lebih sehat, lebih jujur, dan jauh lebih membebaskan.

Wildan Mubaarak Selasa, Desember 02, 2025
Read more ...