1. Negara Hukum Itu Rendah.
Hukum itu paling rendah. Di atas hukum itu ada akhlak, di atas akhlak ada taqwa, karomah, kemuliaan dan seterusnya. Jangan pernah sebuah negara jadi negara hukum. Harus kalau bisa jadi negara akhlak atau moral. Kalau negara hukum, ada orang mati di jalan, anda lewati (tidak menolong), tidak masalah menurut hukum, tapi salah menurut akhlak.
Ada orang kecelakaan anda tidak tolong, tidak masalah menurut hukum. Ada orang lapar tidak anda kasih makan, tidak masalah menurut hukum, tapi salah menurut akhlak. Maka negara hukum itu rendah. Hukum itu hanya jalan kalau ada aparatnya. Sialnya banyak aparat yang malah suka mengancam : “Wani piro!?”
Rakyat sekarang tidak punya parameter berpikir yang benar. Rakyat dengan bodoh menyelesaikan semua urusan pada negara. Baik dan buruk diserahkan pada hukum, itu bodoh! Hukum itu tidak mampu mengurusi kebaikan dan kebenaran sampai tingkat yang diperlukan manusia. Hukum itu tahunya satu level kecil, orang nyopet yang dilihat nyopetnya, dia tidak pernah bertanya kenapa nyopet.
Kewajiban negara menghukum secara hukum (yuridis), masyarakat menghukum secara kebudayaan dan moral. Tapi sekarang hukuman kebudayaan dan moral ini sudah tidak dipegang oleh rakyat. Ingat penyanyi cowok yang terlibat kasus penyebaran video cabul dirinya dengan sejumlah artis, setelah keluar penjara malah dielu-elukan, dicium tangannya, jadi bintang besar.
2. Surga Itu Nggak Penting
Kalau orang cari surga mungkin akan dapat surga, tapi surganya tidak seindah kalau tujuannya Tuhan. Sebab kalau dia cari Tuhan pasti dapat surga. Tauhid itu menyatukan diri dengan Tuhan, bukan dengan surga. Surga itu efek akibat, pelengkap penderita dari penyatuan kita dengan Tuhan.
“Surga nggak penting”, itu cuman ungkapan, tidak ada maksud meremehkan surga. Surga tetap penting. Cak Nun tidak anti surga. Itu ungkapan orang yang level imannya di atas rata-rata. Ibadahnya dalam rangka bersyukur (merdeka), bukan karena minta imbalan dan takut neraka. Bukan seperti kita yang Shalat Dhuha berharap jadi PNS, naik haji berharap dagangannya laris, sedekah Avanza berharap dapat kembalian Alphard, Tuhan diperlakukan sebagai mitra bisnis.
3. Hak Asasi Manusia Itu Menipu
Hanya Tuhan yang punya hak, manusia punyanya hanya kewajiban. Satu-satunya hak manusia adalah memilih pemimpin saat Pemilu. Seseorang punya hak di masyarakat atau negara karena punya ‘saham’. Orang yang tidak bayar pajak, tidak punya andil di masyarakat, dia tidak punya hak apa pun di masyarakat. Jadi yang benar itu bukan Hak Asasi Manusia tapi Wajib Asasi Manusia.
Hak Asasi Manusia adalah ideologi yang Anti Tuhan. Atas nama Hak Asasi, orang boleh menikah dengan sesama jenis, bahkan dengan hewan. Manusia begitu menyanjung kebebasan. Padahal kebebasan adalah jalan menuju batasan. Kalau manusia tidak tahu batasannya, mereka akan jadi binatang, bahkan lebih rendah.
Jadi, kita nggak butuh ideologi HAM yang diadopsi dari Barat itu. Kita punya Hukum Negara maupun Hukum Adat untuk mengatasi pelanggaran hukum apa pun.
4. Kita Semua Sesat
Kalau ada orang yang ngakunya paling benar dan lurus itu berarti dia sombong. Lha wong semua Nabi saja ngakunya dzalim kok. Walau dijamin surga, semua Nabi tidak pernah menyombongkan ilmu dan imannya.
Kalau kamu sudah merasa sudah benar dan lurus, jangan mendatangi pengajian. Pengajian itu tempatnya orang yang merasa salah, merasa masih sesat, merasa rapuh imannya, merasa sedikit ilmunya. Pengajian itu bukan mengajari, tapi kumpulan manusia yang bersama-sama mencari derajat yang lebih tinggi di hadapan Allah.
Tiap hari seorang muslim diwajibkan selalu membaca doa dalam Shalat, “ihdinas siratal mustaqim” (tunjukan kami jalan yang lurus). Artinya, walaupun sudah shalat, puasa, zakat dan haji, tetap kita masih butuh petunjuk ke jalan yang lurus.
Kebenaran (sejati) itu tidak ada, yang bisa dilakukan manusia itu sebisa mungkin menuju kebenaran. Kebenaran itu ada 3 : benarnya diri sendiri, benarnya orang banyak dan kebenaran sejati. Dan yang bikin kita bentrok itu karena seseorang atau umat ngotot dengan benarnya sendiri.
Jadi nggak usah sombong dengan madzhabmu, sektemu, aliranmu. Islamnya NU, Muhammadiyah, LDII, MTA, dan lain-lainnya itu tidak ada yang betul-betul benar, semua dalam rangka mencari Islamnya Rasulullah.
5. Tidak Ada Tafsir yang Betul-betul Benar
Suara kokok ayam versi orang Madura itu “kukurunuk”, orang Sunda “kongkorongkong, orang Jawa “kukuruyuk”. Yang benar yang mana? semuanya salah. Yang benar adalah taruh ayamnya di tengah ketiga orang tadi dan sama-sama mendengar suara kokok ayamnya.
Jarak antara kokok ayam dengan kita menirukan suara kokoknya itu namanya tafsir. Tafsir itu melahirkan madzhab dan pengelompokan-pengelompokan. Itu karena pendengaran tiap orang berbeda terhadap suara kokok ayam.
Kita harus saling menyadari bahwa yang benar itu ayamnya bukan kokoknya. Antara tafsir ‘kukuruyuk’, ‘kukurunuk’ dan ‘kongkorongkong’ harus saling menyadari kelemahan masing-masing sehingga tercipta toleransi. Kalau nganggap benarnya sendiri, egois atau egosentris dengan tafsirnya sendiri maka akan terjadi bentrok.
Jadi, tidak ada tafsir yang betul betul benar. Anda boleh menafsirkan menurut pikiranmu yang penting itu membuatmu menjadi lebih dekat, lebih cinta pada agama dan Tuhanmu. Dan tentu saja tidak menimbulkan kemudharatan umat.
Sebenarnya menafsirkan Al Qur’an itu hanya bisa dilakukan oleh ahli tafsir, kita sebagai orang awam bisanya hanya tadabbur, mencari manfaat dari pergaulan kita dengan nilai-nilai Islam (terutama Al Qur’an). Parameter keberhasilannya adalah yang penting kita menjadi lebih baik sebagai manusia.
Paham atau nggak paham itu bukan parameter. Benar atau tidak benar pemahamanmu itu juga bukan parameter. Parameternya adalah setelah kamu baca dan mencintai Al Quran kamu menjadi lebih dekat pada Allah apa tidak, lebih beriman apa tidak, kamu lebih baik menjadi manusia apa tidak?
6. Ucapan Ulama Itu Bukan Kebenaran
Ucapan Ulama, Kyai atau Ustadz itu bukan kebenaran, tapi tafsir. Saya sudah bahas tadi bahwa tidak ada tafsir yang betul-betul benar. Jadi ucapan ulama kayak apa pun itu tidak mutlak benar. Yang pasti benar itu Al Quran, bukan tafsir yang diucapkan Ulama atau siapa pun.
“Yang saya omongkan tidak harus anda anut. karena anda berdaulat atas diri anda sendiri, anda bertanggung jawab atas diri anda sendiri di hadapan Allah. Jadi setiap keputusan, langkah, pikiran dan sikap anda harus berasal dari anda sendiri karena nanti tanggung jawabnya juga anda sendiri. Saya bukan makelar umat! ” Kata Cak Nun.
“Saya tidak bisa mempertanggungjawabkan kelakuan anda. Saya bukan Nabi Muhammad. Kalau Muhammad harus ditaati, karena bisa menolong kita. Sedangkan saya tidak bisa menolong anda. Tugas Ulama itu mempopulerkan Rasulullah, jangan sampai lebih populer dari Rasulullah, ” lanjutnya.
Apakah Kyai, Ulama, Ustadz bisa menyelamatkan kamu? tidak bisa. Begitu juga dengan pemuka agama yang lain, tidak bisa menyelamatkan kita. Hanya kamu yang bisa menyelamatkan kamu sendiri di hadapan Allah. Maka kalau kamu beribadah pada Allah jangan ada siapa-siapa (antara kamu dan Allah).
Jadi jangan taat pada Ulama, Kyai, Ustadzmu. Bahkan pada orang tua sendiri pun nggak harus taat kok. Pada orang tua kita hanya diwajibkan berbuat baik. Walau wujud berbuat baik itu adalah taat, tapi hakikatnya taat itu hanya pada Allah.
—“Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu. Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu. Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu. Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri.…..” (Kahlil Gibran)–-
“Jangan pernah punya keputusan yang tidak otentik pada diri anda. Artinya kalau shalatmu itu ya shalat kamu dan Allah, itu otentik. Bukan kamu plus Cak Nun, plus Kyai, plus Ustadz, plus Ulama dan Allah, ” kata Cak Nun.
“Jangan mau ditipu oleh siapapun yang menghadirkan Tuhan kepadamu. Yang menghalang-halangi hubunganmu dengan Allah. Jangan percaya kepada Cak Nun, Kyai, Ustadz atau siapapun. Itu hak pribadimu untuk menemukan Tuhanmu dengan gayamu dan caramu, ” kata Cak Nun lagi.
7. Kemuliaan Itu Melakukan Kewajiban yang Tidak Disukai
Kita selalu menjawab “Suka!” saat ditanya, “kamu suka puasa Ramadhan nggak?” Padahal tidak ada seorang pun yang suka puasa. Orang melakukan puasa itu karena perintah wajib. Tuhan sengaja mewajibkan puasa karena manusia tidak suka. Kalau manusia sudah suka, ngapain diwajibkan.
Justru baik kalau orang yang tidak suka puasa tapi tetap puasa. Apa hebatnya melakukan puasa kalau sudah suka puasa. Yang gemblung itu yang puasa tapi mencari jalan bagaimana caranya agar tidak merasa lapar. Dengan cara minum suplemen atau cara lain. Lha wong puasa itu agar kita merasa lapar, mencicipi penderitaan orang miskin. Cuman mencicipi, nggak merasakan benar susahnya jadi orang kere yang paginya sahur sorenya nggak pasti berbuka.
Nggak cuman puasa, sepertinya semua ibadah wajib nggak ada yang kita suka. Cobalah untuk jujur pada diri kamu sendiri. Nggak papa nggak suka, asal tetap ikhlas melakukan ibadah tersebut dengan baik. Itu lah kemuliaan. Letak kemuliaan itu melakukan hal yang tidak disukai tapi tetap ikhlas melakukannya, karena tahu kewajiban dari Tuhan itu pasti baik dan bermanfaat. Jadi, jujurlah kalau sebenarnya kamu tidak suka menjalankan kewajiban ibadah.
8. Melayani Umat Bukan Dagang
Allah ‘membeli’ sembahyang, pelayanan dan cinta kita padaNya. Ongkosnya adalah segala macam rahmat dan berkah alam semesta yang dihamparkan pada kita. Jadi Allah sangat menjual murah rahmatNya itu hanya agar kita shalat, puasa dan lainya. Tapi Allah tidak menjual martabat (harga diri) Nya.
Kehancuran manusia sekarang itu karena di setiap bidang tidak diurai mana hal yang boleh dijual dan mana yang tidak boleh dijual. Guru mengajar itu bukan jualan ilmu. Dia menerima gaji karena waktu, energi yang dipakai si guru saat mengajar, bukan karena ilmu dan martabatnya. Martabat tidak boleh dijual.
Dokter menyembuhkan orang sakit itu bukan peristiwa dagang. Pasien membayar dokter itu yang dibayar obatnya, waktu dan energi si dokter, juga ikut urunan alat dan sarana yang dibeli dokter untuk menyembuhkan pasien.
Ustadz, Motivator dan sejenisnya, jangan pasang tarif. Pekerjaan memotivasi, mengajari, menyemangati, mencerahkan, mencerdaskan orang itu melayani umat, bukan jualan ilmu dan martabat. Kalau kita membayar Ustadz, itu karena kita menghargai waktu dan energi si Ustadz saat menyampaikan ilmunya.
Kalau mengajar, mengajarlah yang baik. Kalau menulis, menulislah yang beneran, nggak usah mikir tarif. Bahkan jualan nasi pun, nggak perlu dipikir labanya tapi bagaimana caranya bikin nasi yang baik dan sehat, jualan yang sopan, bertanggung jawab pada pembeli, pasti akan dapat rejeki.
9. Belajarlah Memilih Pemimpin, Bukan Dipilih
Pemimpin yang baik itu yang diajukan rakyat, yang didorong-dorong agar maju jadi pemimpin, bukan mereka yang mencalonkan diri. Seperti juga Imam Shalat, Imam yang baik itu yang diajukan oleh makmum, bukan diri sendiri yang mengajukan dirinya jadi imam. Sampeyan iku sopo mas?
Di Al Qur’an tidak ada perintah untuk menjadi pemimpin (yang ada hanya kriteria pemimpin). Yang disuruh Allah belajar adalah memilih pemimpin. Jadi urusannya adalah memilih, bukan dipilih. Kalau ada debat “Bagaimana supaya dipilih jadi pemimpin” itu berarti menyalahi Al Qur’an.
Manusia itu harusnya bisa rumangsa, bukan rumangsa bisa. Kita itu hamba Tuhan, kita punya muka, punya malu, punya martabat. Tapi kita sudah terlanjur mempermalukan diri dengan proses yang ada selama ini. Seharusnya sejak awal pemimpin itu sudah tumbuh secara natural, sosial, kultural.
“Rumus saya : barang siapa yang masih mencalonkan diri (jadi pemimpin), saya sudah tidak percaya lagi pada dia. Kalau negeri ini masih hidup dengan orang yang mencalonkan diri, negeri ini bakalan hancur, ” kata Cak Nun.
10. Jangan Sampai Diperalat Sekolah
Belajar boleh pada apa dan siapapun. Nggak masalah mempelajari Fir’aun, Hitler, Che Guevara, Fidel Castro. Semua yang ada di dunia ini adalah cahaya ilmu. Selama kita dewasa, kita nggak akan gampang ‘masuk angin’ oleh kalimat kayak apapun. Yang penting nggak mudah terseret untuk menyalahkan atau membenarkan. Ambil saja makna dan manfaatnya. Simpan yang baik, tendang jauh-jauh yang mblendes.
Kalau kita cermati saat bayi baru lahir. Kok si bayi ini menggerak-gerakan mulutnya, bisa tahu tempat dan caranya menyusui. Kok bisa anak kucing yang masih merah bisa tahu puting susu induknya. Maka sebenarnya pendidikan itu jangan ge-er, guru itu tidak bisa mengajari orang, guru itu bisanya menemani. Agar murid punya bahan dalam rangka meneliti dirinya sendiri. Kalau kita tidak tahu diri kita ini siapa, bagaimana kita tahu kemampuan kita.
Kalau nggak tahu kita ini kiper apa penyerang, maka saat di lapangan sepakbola, kita bakalan kebingungan, aku iki lapo nang kene? Kalau kucing jangan diajari menggongong. Kalau kambing jangan diajari terbang. Maka kenali dirimu, barang siapa mengenali dirinya sesungguhnya ia mengenali Tuhannya.
Kalau kamu bernama Paimo. Apa kamu itu memang Paimo? Itu khan nama yang diberikan bapakmu. Kalau kamu menamai dirimu sendiri, pasti bukan Paimo. Jadi dirimu itu bukan Paimo, bukan Markeso, bukan semua itu. Dirimu dijadikan tertutup. Begitu kamu punya orang tua, begitu masuk sekolah TK sampai kuliah, kamu ditutupi. Tugas sekolah adalah membuka tabir siapa dirimu, memberikan alat supaya mengenal dirimu. Tapi, sekolah malah menutup-nutupi dan malah ditambahi sarjana anu, ditambah doktor, ditambah kepala dinas, dsb.
“Kamu itu harus jadi tuan, sekolah itu alat anda, jangan sampai diperalat sekolah. Andai kamu perlu ijazah, oke no problem, ikutilah aturan sampai mendapatkan ijazah. Tapi tidak ada hubungannya dengan cari ilmu. Kalau cari ilmu ya banyak tempatnya, tidak hanya di sekolah. Kuliah itu mencari ijazah untuk membahagiakan orang tuamu. ” kata Cak Nun yang pendidikannya hanya sampai semester satu Fakultas Ekonomi UGM tapi otaknya nggak kalah dengan Profesor yang paling top.
Jadi jangan salah niat. Kalau niatnya mencari ilmu, goblok! Kita bersekolah itu biar punya sertifikat buat mencari pekerjaan. Sekolah itu tidak mengenal Tuhan. Tuhan tidak diakui secara akademis. Karena Tuhan tidak bisa diteliti, didata, dianalisis dan disimpulkan. Segala sesuatu yang tidak memenuhi persyaratan akademis (nggak ilmiah) itu tidak diterima. Jadi semua universitas itu sebenarnya atheis!
Jangan terjajah oleh dunia pendidikan. Penting mana anda sekolah atau belajar? Anda ‘diperalat’ sekolah atau anda ‘memperalat’ sekolah? Anda bergantung pada sekolah ataukah sekolah yang tergantung pada anda? Terhadap pendidikan, jadikan anda subyek dari sekolah, bukan obyek sekolah. (Robbi Gandamana)
Hukum itu paling rendah. Di atas hukum itu ada akhlak, di atas akhlak ada taqwa, karomah, kemuliaan dan seterusnya. Jangan pernah sebuah negara jadi negara hukum. Harus kalau bisa jadi negara akhlak atau moral. Kalau negara hukum, ada orang mati di jalan, anda lewati (tidak menolong), tidak masalah menurut hukum, tapi salah menurut akhlak.
Ada orang kecelakaan anda tidak tolong, tidak masalah menurut hukum. Ada orang lapar tidak anda kasih makan, tidak masalah menurut hukum, tapi salah menurut akhlak. Maka negara hukum itu rendah. Hukum itu hanya jalan kalau ada aparatnya. Sialnya banyak aparat yang malah suka mengancam : “Wani piro!?”
Rakyat sekarang tidak punya parameter berpikir yang benar. Rakyat dengan bodoh menyelesaikan semua urusan pada negara. Baik dan buruk diserahkan pada hukum, itu bodoh! Hukum itu tidak mampu mengurusi kebaikan dan kebenaran sampai tingkat yang diperlukan manusia. Hukum itu tahunya satu level kecil, orang nyopet yang dilihat nyopetnya, dia tidak pernah bertanya kenapa nyopet.
Kewajiban negara menghukum secara hukum (yuridis), masyarakat menghukum secara kebudayaan dan moral. Tapi sekarang hukuman kebudayaan dan moral ini sudah tidak dipegang oleh rakyat. Ingat penyanyi cowok yang terlibat kasus penyebaran video cabul dirinya dengan sejumlah artis, setelah keluar penjara malah dielu-elukan, dicium tangannya, jadi bintang besar.
2. Surga Itu Nggak Penting
Kalau orang cari surga mungkin akan dapat surga, tapi surganya tidak seindah kalau tujuannya Tuhan. Sebab kalau dia cari Tuhan pasti dapat surga. Tauhid itu menyatukan diri dengan Tuhan, bukan dengan surga. Surga itu efek akibat, pelengkap penderita dari penyatuan kita dengan Tuhan.
“Surga nggak penting”, itu cuman ungkapan, tidak ada maksud meremehkan surga. Surga tetap penting. Cak Nun tidak anti surga. Itu ungkapan orang yang level imannya di atas rata-rata. Ibadahnya dalam rangka bersyukur (merdeka), bukan karena minta imbalan dan takut neraka. Bukan seperti kita yang Shalat Dhuha berharap jadi PNS, naik haji berharap dagangannya laris, sedekah Avanza berharap dapat kembalian Alphard, Tuhan diperlakukan sebagai mitra bisnis.
3. Hak Asasi Manusia Itu Menipu
Hanya Tuhan yang punya hak, manusia punyanya hanya kewajiban. Satu-satunya hak manusia adalah memilih pemimpin saat Pemilu. Seseorang punya hak di masyarakat atau negara karena punya ‘saham’. Orang yang tidak bayar pajak, tidak punya andil di masyarakat, dia tidak punya hak apa pun di masyarakat. Jadi yang benar itu bukan Hak Asasi Manusia tapi Wajib Asasi Manusia.
Hak Asasi Manusia adalah ideologi yang Anti Tuhan. Atas nama Hak Asasi, orang boleh menikah dengan sesama jenis, bahkan dengan hewan. Manusia begitu menyanjung kebebasan. Padahal kebebasan adalah jalan menuju batasan. Kalau manusia tidak tahu batasannya, mereka akan jadi binatang, bahkan lebih rendah.
Jadi, kita nggak butuh ideologi HAM yang diadopsi dari Barat itu. Kita punya Hukum Negara maupun Hukum Adat untuk mengatasi pelanggaran hukum apa pun.
4. Kita Semua Sesat
Kalau ada orang yang ngakunya paling benar dan lurus itu berarti dia sombong. Lha wong semua Nabi saja ngakunya dzalim kok. Walau dijamin surga, semua Nabi tidak pernah menyombongkan ilmu dan imannya.
Kalau kamu sudah merasa sudah benar dan lurus, jangan mendatangi pengajian. Pengajian itu tempatnya orang yang merasa salah, merasa masih sesat, merasa rapuh imannya, merasa sedikit ilmunya. Pengajian itu bukan mengajari, tapi kumpulan manusia yang bersama-sama mencari derajat yang lebih tinggi di hadapan Allah.
Tiap hari seorang muslim diwajibkan selalu membaca doa dalam Shalat, “ihdinas siratal mustaqim” (tunjukan kami jalan yang lurus). Artinya, walaupun sudah shalat, puasa, zakat dan haji, tetap kita masih butuh petunjuk ke jalan yang lurus.
Kebenaran (sejati) itu tidak ada, yang bisa dilakukan manusia itu sebisa mungkin menuju kebenaran. Kebenaran itu ada 3 : benarnya diri sendiri, benarnya orang banyak dan kebenaran sejati. Dan yang bikin kita bentrok itu karena seseorang atau umat ngotot dengan benarnya sendiri.
Jadi nggak usah sombong dengan madzhabmu, sektemu, aliranmu. Islamnya NU, Muhammadiyah, LDII, MTA, dan lain-lainnya itu tidak ada yang betul-betul benar, semua dalam rangka mencari Islamnya Rasulullah.
5. Tidak Ada Tafsir yang Betul-betul Benar
Suara kokok ayam versi orang Madura itu “kukurunuk”, orang Sunda “kongkorongkong, orang Jawa “kukuruyuk”. Yang benar yang mana? semuanya salah. Yang benar adalah taruh ayamnya di tengah ketiga orang tadi dan sama-sama mendengar suara kokok ayamnya.
Jarak antara kokok ayam dengan kita menirukan suara kokoknya itu namanya tafsir. Tafsir itu melahirkan madzhab dan pengelompokan-pengelompokan. Itu karena pendengaran tiap orang berbeda terhadap suara kokok ayam.
Kita harus saling menyadari bahwa yang benar itu ayamnya bukan kokoknya. Antara tafsir ‘kukuruyuk’, ‘kukurunuk’ dan ‘kongkorongkong’ harus saling menyadari kelemahan masing-masing sehingga tercipta toleransi. Kalau nganggap benarnya sendiri, egois atau egosentris dengan tafsirnya sendiri maka akan terjadi bentrok.
Jadi, tidak ada tafsir yang betul betul benar. Anda boleh menafsirkan menurut pikiranmu yang penting itu membuatmu menjadi lebih dekat, lebih cinta pada agama dan Tuhanmu. Dan tentu saja tidak menimbulkan kemudharatan umat.
Sebenarnya menafsirkan Al Qur’an itu hanya bisa dilakukan oleh ahli tafsir, kita sebagai orang awam bisanya hanya tadabbur, mencari manfaat dari pergaulan kita dengan nilai-nilai Islam (terutama Al Qur’an). Parameter keberhasilannya adalah yang penting kita menjadi lebih baik sebagai manusia.
Paham atau nggak paham itu bukan parameter. Benar atau tidak benar pemahamanmu itu juga bukan parameter. Parameternya adalah setelah kamu baca dan mencintai Al Quran kamu menjadi lebih dekat pada Allah apa tidak, lebih beriman apa tidak, kamu lebih baik menjadi manusia apa tidak?
6. Ucapan Ulama Itu Bukan Kebenaran
Ucapan Ulama, Kyai atau Ustadz itu bukan kebenaran, tapi tafsir. Saya sudah bahas tadi bahwa tidak ada tafsir yang betul-betul benar. Jadi ucapan ulama kayak apa pun itu tidak mutlak benar. Yang pasti benar itu Al Quran, bukan tafsir yang diucapkan Ulama atau siapa pun.
“Yang saya omongkan tidak harus anda anut. karena anda berdaulat atas diri anda sendiri, anda bertanggung jawab atas diri anda sendiri di hadapan Allah. Jadi setiap keputusan, langkah, pikiran dan sikap anda harus berasal dari anda sendiri karena nanti tanggung jawabnya juga anda sendiri. Saya bukan makelar umat! ” Kata Cak Nun.
“Saya tidak bisa mempertanggungjawabkan kelakuan anda. Saya bukan Nabi Muhammad. Kalau Muhammad harus ditaati, karena bisa menolong kita. Sedangkan saya tidak bisa menolong anda. Tugas Ulama itu mempopulerkan Rasulullah, jangan sampai lebih populer dari Rasulullah, ” lanjutnya.
Apakah Kyai, Ulama, Ustadz bisa menyelamatkan kamu? tidak bisa. Begitu juga dengan pemuka agama yang lain, tidak bisa menyelamatkan kita. Hanya kamu yang bisa menyelamatkan kamu sendiri di hadapan Allah. Maka kalau kamu beribadah pada Allah jangan ada siapa-siapa (antara kamu dan Allah).
Jadi jangan taat pada Ulama, Kyai, Ustadzmu. Bahkan pada orang tua sendiri pun nggak harus taat kok. Pada orang tua kita hanya diwajibkan berbuat baik. Walau wujud berbuat baik itu adalah taat, tapi hakikatnya taat itu hanya pada Allah.
—“Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu. Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu. Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu. Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri.…..” (Kahlil Gibran)–-
“Jangan pernah punya keputusan yang tidak otentik pada diri anda. Artinya kalau shalatmu itu ya shalat kamu dan Allah, itu otentik. Bukan kamu plus Cak Nun, plus Kyai, plus Ustadz, plus Ulama dan Allah, ” kata Cak Nun.
“Jangan mau ditipu oleh siapapun yang menghadirkan Tuhan kepadamu. Yang menghalang-halangi hubunganmu dengan Allah. Jangan percaya kepada Cak Nun, Kyai, Ustadz atau siapapun. Itu hak pribadimu untuk menemukan Tuhanmu dengan gayamu dan caramu, ” kata Cak Nun lagi.
7. Kemuliaan Itu Melakukan Kewajiban yang Tidak Disukai
Kita selalu menjawab “Suka!” saat ditanya, “kamu suka puasa Ramadhan nggak?” Padahal tidak ada seorang pun yang suka puasa. Orang melakukan puasa itu karena perintah wajib. Tuhan sengaja mewajibkan puasa karena manusia tidak suka. Kalau manusia sudah suka, ngapain diwajibkan.
Justru baik kalau orang yang tidak suka puasa tapi tetap puasa. Apa hebatnya melakukan puasa kalau sudah suka puasa. Yang gemblung itu yang puasa tapi mencari jalan bagaimana caranya agar tidak merasa lapar. Dengan cara minum suplemen atau cara lain. Lha wong puasa itu agar kita merasa lapar, mencicipi penderitaan orang miskin. Cuman mencicipi, nggak merasakan benar susahnya jadi orang kere yang paginya sahur sorenya nggak pasti berbuka.
Nggak cuman puasa, sepertinya semua ibadah wajib nggak ada yang kita suka. Cobalah untuk jujur pada diri kamu sendiri. Nggak papa nggak suka, asal tetap ikhlas melakukan ibadah tersebut dengan baik. Itu lah kemuliaan. Letak kemuliaan itu melakukan hal yang tidak disukai tapi tetap ikhlas melakukannya, karena tahu kewajiban dari Tuhan itu pasti baik dan bermanfaat. Jadi, jujurlah kalau sebenarnya kamu tidak suka menjalankan kewajiban ibadah.
8. Melayani Umat Bukan Dagang
Allah ‘membeli’ sembahyang, pelayanan dan cinta kita padaNya. Ongkosnya adalah segala macam rahmat dan berkah alam semesta yang dihamparkan pada kita. Jadi Allah sangat menjual murah rahmatNya itu hanya agar kita shalat, puasa dan lainya. Tapi Allah tidak menjual martabat (harga diri) Nya.
Kehancuran manusia sekarang itu karena di setiap bidang tidak diurai mana hal yang boleh dijual dan mana yang tidak boleh dijual. Guru mengajar itu bukan jualan ilmu. Dia menerima gaji karena waktu, energi yang dipakai si guru saat mengajar, bukan karena ilmu dan martabatnya. Martabat tidak boleh dijual.
Dokter menyembuhkan orang sakit itu bukan peristiwa dagang. Pasien membayar dokter itu yang dibayar obatnya, waktu dan energi si dokter, juga ikut urunan alat dan sarana yang dibeli dokter untuk menyembuhkan pasien.
Ustadz, Motivator dan sejenisnya, jangan pasang tarif. Pekerjaan memotivasi, mengajari, menyemangati, mencerahkan, mencerdaskan orang itu melayani umat, bukan jualan ilmu dan martabat. Kalau kita membayar Ustadz, itu karena kita menghargai waktu dan energi si Ustadz saat menyampaikan ilmunya.
Kalau mengajar, mengajarlah yang baik. Kalau menulis, menulislah yang beneran, nggak usah mikir tarif. Bahkan jualan nasi pun, nggak perlu dipikir labanya tapi bagaimana caranya bikin nasi yang baik dan sehat, jualan yang sopan, bertanggung jawab pada pembeli, pasti akan dapat rejeki.
9. Belajarlah Memilih Pemimpin, Bukan Dipilih
Pemimpin yang baik itu yang diajukan rakyat, yang didorong-dorong agar maju jadi pemimpin, bukan mereka yang mencalonkan diri. Seperti juga Imam Shalat, Imam yang baik itu yang diajukan oleh makmum, bukan diri sendiri yang mengajukan dirinya jadi imam. Sampeyan iku sopo mas?
Di Al Qur’an tidak ada perintah untuk menjadi pemimpin (yang ada hanya kriteria pemimpin). Yang disuruh Allah belajar adalah memilih pemimpin. Jadi urusannya adalah memilih, bukan dipilih. Kalau ada debat “Bagaimana supaya dipilih jadi pemimpin” itu berarti menyalahi Al Qur’an.
Manusia itu harusnya bisa rumangsa, bukan rumangsa bisa. Kita itu hamba Tuhan, kita punya muka, punya malu, punya martabat. Tapi kita sudah terlanjur mempermalukan diri dengan proses yang ada selama ini. Seharusnya sejak awal pemimpin itu sudah tumbuh secara natural, sosial, kultural.
“Rumus saya : barang siapa yang masih mencalonkan diri (jadi pemimpin), saya sudah tidak percaya lagi pada dia. Kalau negeri ini masih hidup dengan orang yang mencalonkan diri, negeri ini bakalan hancur, ” kata Cak Nun.
10. Jangan Sampai Diperalat Sekolah
Belajar boleh pada apa dan siapapun. Nggak masalah mempelajari Fir’aun, Hitler, Che Guevara, Fidel Castro. Semua yang ada di dunia ini adalah cahaya ilmu. Selama kita dewasa, kita nggak akan gampang ‘masuk angin’ oleh kalimat kayak apapun. Yang penting nggak mudah terseret untuk menyalahkan atau membenarkan. Ambil saja makna dan manfaatnya. Simpan yang baik, tendang jauh-jauh yang mblendes.
Kalau kita cermati saat bayi baru lahir. Kok si bayi ini menggerak-gerakan mulutnya, bisa tahu tempat dan caranya menyusui. Kok bisa anak kucing yang masih merah bisa tahu puting susu induknya. Maka sebenarnya pendidikan itu jangan ge-er, guru itu tidak bisa mengajari orang, guru itu bisanya menemani. Agar murid punya bahan dalam rangka meneliti dirinya sendiri. Kalau kita tidak tahu diri kita ini siapa, bagaimana kita tahu kemampuan kita.
Kalau nggak tahu kita ini kiper apa penyerang, maka saat di lapangan sepakbola, kita bakalan kebingungan, aku iki lapo nang kene? Kalau kucing jangan diajari menggongong. Kalau kambing jangan diajari terbang. Maka kenali dirimu, barang siapa mengenali dirinya sesungguhnya ia mengenali Tuhannya.
Kalau kamu bernama Paimo. Apa kamu itu memang Paimo? Itu khan nama yang diberikan bapakmu. Kalau kamu menamai dirimu sendiri, pasti bukan Paimo. Jadi dirimu itu bukan Paimo, bukan Markeso, bukan semua itu. Dirimu dijadikan tertutup. Begitu kamu punya orang tua, begitu masuk sekolah TK sampai kuliah, kamu ditutupi. Tugas sekolah adalah membuka tabir siapa dirimu, memberikan alat supaya mengenal dirimu. Tapi, sekolah malah menutup-nutupi dan malah ditambahi sarjana anu, ditambah doktor, ditambah kepala dinas, dsb.
“Kamu itu harus jadi tuan, sekolah itu alat anda, jangan sampai diperalat sekolah. Andai kamu perlu ijazah, oke no problem, ikutilah aturan sampai mendapatkan ijazah. Tapi tidak ada hubungannya dengan cari ilmu. Kalau cari ilmu ya banyak tempatnya, tidak hanya di sekolah. Kuliah itu mencari ijazah untuk membahagiakan orang tuamu. ” kata Cak Nun yang pendidikannya hanya sampai semester satu Fakultas Ekonomi UGM tapi otaknya nggak kalah dengan Profesor yang paling top.
Jadi jangan salah niat. Kalau niatnya mencari ilmu, goblok! Kita bersekolah itu biar punya sertifikat buat mencari pekerjaan. Sekolah itu tidak mengenal Tuhan. Tuhan tidak diakui secara akademis. Karena Tuhan tidak bisa diteliti, didata, dianalisis dan disimpulkan. Segala sesuatu yang tidak memenuhi persyaratan akademis (nggak ilmiah) itu tidak diterima. Jadi semua universitas itu sebenarnya atheis!
Jangan terjajah oleh dunia pendidikan. Penting mana anda sekolah atau belajar? Anda ‘diperalat’ sekolah atau anda ‘memperalat’ sekolah? Anda bergantung pada sekolah ataukah sekolah yang tergantung pada anda? Terhadap pendidikan, jadikan anda subyek dari sekolah, bukan obyek sekolah. (Robbi Gandamana)
TAGS :
COMMENTS