Ada saat dalam hidup ketika aku merasa segala keputusan yang kuambil justru menjauhkan diriku dari tujuan yang selama ini kuimpikan. Aku merasa tersesat pada keputusanku sendiri, dan pada akhirnya aku perlahan kehilangan arah kehidupanku. Aku mencoba mencari sumber bacaan untuk menemukan apa yang selama ini terjadi padaku—mencari akar permasalahan yang mengekang diri ini. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menulis perlahan beberapa hal yang relevan dengan kondisiku saat ini.
Menurut teori Cognitive Dissonance yang dikemukakan Leon Festinger (baca: Cognitive Dissonance: Berpisah Bukan Karena Mau Tapi Harus), manusia sering mengalami konflik batin ketika keyakinan tidak sejalan dengan tindakan. Aku pun merasakan itu—di satu sisi aku percaya bahwa aku tahu apa yang terbaik untuk hidupku, namun tindakan-tindakanku justru membawaku pada kekecewaan dan ketidakpastian karena aku merasa benar—ada yang salah dengan pikiranku. Alih-alih berhenti dan mengevaluasi, aku memaksakan diri terus maju, hanya agar terlihat kuat (baca: Toxic Masculinity: Terkekangnya Kebebasan Emosional). Tetapi semakin keras aku berusaha, semakin jelas bahwa aku menjauh dari siapa diriku sebenarnya.
Aku terjebak dalam lingkaran Denial—salah satu mekanisme pertahanan ego menurut teori Sigmund Freud (baca: Psikoanalisis)—di mana aku menolak untuk mengakui kesalahan dan kelemahanku. Aku ingin terlihat sempurna, padahal kenyataannya tanpa sadar aku menghancurkan diriku sendiri. Ketika realita dan ekspektasi saling bertabrakan, rasa kehilangan arah itu pun tak terhindarkan.
Toxic masculinity berkaitan erat dengan psikoanalisis karena konsep tersebut dapat dipahami sebagai hasil internalisasi norma maskulinitas yang kaku melalui proses perkembangan psikoseksual dan dinamika keluarga dalam alam bawah sadar. Menurut perspektif psikoanalitik, anak laki-laki mengidentifikasi diri dengan figur ayah dan belajar menekan emosi yang dianggap feminin sehingga agresi dan dominasi muncul sebagai kompensasi ego. Represi emosi, kecemasan kehilangan otoritas, serta tuntutan performativitas gender menjadi bagian dari struktur kepribadian yang kemudian memunculkan perilaku maskulin yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dengan demikian, psikoanalisis menjelaskan bahwa toxic masculinity bukan sifat bawaan laki-laki, melainkan konstruksi psikologis dan sosial yang terbentuk dan dipertahankan secara tidak sadar.
Dalam konsep Erikson’s Psychosocial Development, fase dewasa muda adalah mencari identitas dan tujuan hidup (Identity vs. Role Confusion). Di sinilah aku menyadari bahwa kebingungan arah adalah bagian alami dari perkembanganku. Bahwa kegagalan bukan penanda berakhirnya perjalanan, melainkan titik balik untuk memahami jati diri.
Ketika akhirnya aku berhenti berlari dan menatap diriku sendiri, aku memahami sesuatu yang penting: Menerima kesalahan adalah bentuk keberanian psikologis. Dari penerimaan itu, muncul peluang untuk bertumbuh. Aku mulai mempraktikkan Self-Compassion yang dikemukakan oleh Kristin Neff—belajar memaafkan diri, memperlakukan diriku dengan kebaikan, bukan dengan kritik yang melukai.
Aku baru tersadar ketika aku mengingat satu kutipan yang selama ini terpendam jauh dalam diriku “Sebanyak jumlah manusia di bumi, sebanyak itu pula jalan menuju Tuhan” — Jalaluddin Rumi. Kutipan itu memberi spektrum yang sangat luas. Depresi menjadi penampar kehidupanku sendiri bahwa ada yang salah dalam hidupku dan menjadi pengingat bahwa aku tidak memerankan potensi terbaikku —terjebak dalam pola pikir yang salah. Memperbaiki pola pikir yang keliru, aku mulai menapaki jalan baru—lebih perlahan, lebih sadar, lebih jujur dengan diriku sendiri.
Aku yang salah, ya, tetapi aku juga yang akan memperbaiki kesalahan itu. Aku kehilangan arah, namun aku tahu, setiap langkah kecil yang kulakukan hari ini adalah usaha untuk kembali menemukan diri dan bunga kehidupan yang hilang.



Tidak ada komentar: