Masyarakat Jepang memiliki banyak istilah untuk menggambarkan kondisi mental, mulai dari perasaan murung ringan hingga gangguan yang sangat serius. Istilah-istilah ini bukan hanya sekadar kata, tetapi mencerminkan cara pandang budaya Jepang terhadap kesehatan jiwa.
Salah satu istilah yang paling dikenal adalah utsubyō (うつ病). Utsubyō, yaitu penyakit kronis yang membuat penderitanya tidak bisa bekerja. Utsubyō juga istilah yang mewakili gejala depresi dan skizofrenia dalam budaya Jepang. Penderitanya sering terlihat seperti “malas bekerja”, padahal kenyataannya mereka sedang berjuang melawan kelelahan mental yang sangat berat, sulit berkonsentrasi, dan perasaan hampa yang tak hilang. Kondisi ini mempengaruhi produktivitas, hubungan sosial, dan kualitas hidup secara menyeluruh.
Selain istilah utsubyō, dalam budaya Jepang juga memiliki istilah emosional yang menggambarkan perasaan ketika berduka dan kesuraman pada tubuh dan jiwa, salah satunya yūutsu (憂鬱). Yūutsu mengacu pada perasaan suram, sedih, atau berat di dalam hati maupun tubuh. Ini bukan gangguan klinis, tapi lebih pada perasaan yang membuat seseorang merasa tidak bersemangat. Walaupun biasanya bersifat sementara, rasa yūutsu yang berkepanjangan bisa menjadi tanda awal depresi.
Lalu ada dua istilah yang serupa dengan Yūutsu. Ki ga fusagu (気が塞ぐ) digunakan ketika seseorang merasa seperti terhalang secara batin—seolah ada dinding yang menekan perasaan mereka. Mirip dengannya, ki ga meiru (気がめいる / 気が滅入る) menggambarkan kondisi ketika seseorang merasa kelelahan emosional, seperti energi yang bocor dan hilangnya energi. Perasaan putus asa, lelah tanpa sebab fisik, dan kesulitan untuk bangkit kembali sering dikaitkan dengan istilah ini. Kedua ungkapan tersebut menunjukkan bahwa kesehatan mental tidak melulu soal diagnosis, tetapi tentang perubahan energi batin yang dapat dirasakan oleh siapa saja.
Ketika kita membicarakan dunia kerja di Jepang, kita akan menemukan istilah yang jauh lebih serius. Karōshi (過労死) berarti kematian yang disebabkan oleh kerja berlebihan. Ini terjadi pada mereka yang mengalami kelelahan ekstrem, kurang tidur kronis, tekanan pekerjaan yang berat, atau stres yang tidak pernah diatasi. Karōshi biasanya terjadi akibat masalah fisik seperti serangan jantung atau stroke, tetapi akar masalahnya adalah sistem kerja yang menuntut seseorang bekerja melampaui batas manusiawi.
Lebih tragis lagi, ada istilah karōjisatsu (過労自殺), yaitu bunuh diri yang dipicu oleh tekanan pekerjaan yang sangat berat. Orang yang mengalami karōjisatsu biasanya berada di bawah stres berkepanjangan, mengalami pelecehan di tempat kerja (power harassment), atau merasa tidak ada jalan keluar dari tuntutan kerja yang tidak manusiawi. Istilah ini menggambarkan sisi paling gelap dari budaya kerja Jepang, di mana tanggung jawab dan disiplin kadang melampaui batas hingga mengorbankan kesehatan mental dan nyawa seseorang.
Meskipun istilah-istilah seperti yūutsu, ki fa fusagu, dan ki ga meiru memiliki makna yang tumpang tindih dengan depresi, secara bahasa juga mewakili sensasi tubuh seperti sakit kepala, sesak di dada, dan rasa berat di kepala. Sementara depresi, secara bahasa Inggris lebih bermuatan emosional.
Terakhir ada istilah masih menjadi perdebatan hingga sekarang, yaitu kokoro no kaze (こころの風邪), atau “cold of the soul”, sering dikaitkan dengan proyek megamarketing saat GlaxoSmithKline (GSK) memperkenalkan antidepresan Paxil (SSRI, paroxetin) di Jepang pada awal 2000-an. Pada masa itu, perusahaan farmasi berusaha mengubah cara masyarakat memandang depresi—dari kondisi yang dianggap memalukan dan berat menjadi sesuatu yang “umum, ringan, dan bisa menyerang siapa saja,” layaknya flu. Kampanye edukasi publik yang besar-besaran ini bertujuan mengurangi stigma sehingga lebih banyak orang berani mencari bantuan medis, namun sekaligus memperluas pasar potensial bagi obat antidepresan baru.
Wacana tentang “depresi sebagai cold of the soul” menyebar luas melalui media, seminar medis, dan materi edukasi. Di satu sisi, istilah ini membantu masyarakat memahami bahwa kesehatan mental adalah bagian dari kesehatan sehari-hari; tetapi di sisi lain, kritik muncul karena pendekatan tersebut dinilai menyederhanakan depresi secara berlebihan dan berpotensi menjadi alat pemasaran yang kuat untuk meningkatkan penjualan Paxil, sehingga memicu perdebatan panjang mengenai batas antara edukasi kesehatan dan promosi komersial.
Semua istilah di atas menunjukkan betapa luasnya spektrum kesehatan mental dalam budaya Jepang—mulai dari kesuraman ringan hingga kondisi yang mengancam nyawa. Bahasa mereka lebih spesifik, memberi kita cara untuk memahami perasaan yang sulit dijelaskan. Di dalamnya terdapat pengakuan bahwa manusia bisa merasa kewalahan oleh tekanan hidupnya.
Pada akhirnya, istilah-istilah ini mengingatkan kita bahwa kesehatan jiwa adalah bagian penting dari kehidupan. Perasaan murung atau kehilangan energi bukanlah kelemahan, melainkan sinyal bahwa kita perlu istirahat, mendapat dukungan, atau mencari bantuan profesional. Dengan memahami istilah tersebut, kita bisa lebih peka terhadap diri sendiri dan orang lain, serta menyadari bahwa setiap orang membutuhkan ruang untuk bernapas dan memulihkan diri.



Tidak ada komentar: