Di tengah dunia yang dipenuhi standar kecantikan yang kian sempit, banyak orang tumbuh dengan perasaan bahwa tubuh mereka tidak pernah cukup baik. Citra tubuh yang rendah atau low body image, bukan hanya tentang ketidakpuasan terhadap penampilan, tetapi tentang luka psikologis yang pelan-pelan terbentuk dari pandangan sosial dan budaya yang memuja kesempurnaan. Cermin yang seharusnya memantulkan realitas justru berubah menjadi alat yang mendistorsi diri—seolah apa pun yang terlihat tidak layak, tidak indah, tidak pantas.
Low body image adalah kondisi ketika seseorang melihat tubuhnya secara negatif dan tidak realistis. Ia memengaruhi cara seseorang menilai nilai dirinya sendiri, membuat tubuh dijadikan ukuran utama harga diri. Kondisi ini tidak muncul dalam semalam. Ia terbentuk dari komentar orang tua tentang berat badan, candaan teman sebaya, perbandingan dengan figur yang dilihat di media sosial, dan tekanan sosial untuk memenuhi standar “cantik”. Pada titik tertentu, cantik bukan lagi sekadar keinginan, tetapi tuntutan yang melukai.
Secara psikologis, low body image berdampak luas. Banyak individu merasa terjebak dalam kecemasan sosial. Mereka mulai menghindari kehidupan sosial, merasa tidak pantas berada di keramaian atau kehilangan kepercayaan diri hanya karena merasa tubuhnya “salah”. Rasa tidak puas terhadap tubuh bertransformasi menjadi rasa tidak puas terhadap diri secara keseluruhan, menimbulkan perasaan gagal, malu, dan tidak berharga.
Dalam banyak kasus, low body image juga melahirkan obsesi terhadap kesempurnaan fisik. Seseorang bisa terus-menerus memandangi kekurangan kecil pada tubuhnya, merasakan kebutuhan kompulsif untuk memperbaiki sesuatu yang sebenarnya tidak bermasalah. Pikiran mengenai tubuh menguasai hari-hari mereka: apa yang harus dimakan, bagaimana tampil, bagaimana menghindari penilaian orang lain. Tubuh menjadi medan perang yang dipenuhi kritik, tuntutan, dan kontrol berlebihan.
Di sinilah low body image dapat berkembang menjadi perilaku berbahaya. Untuk mencapai tubuh ideal versi mereka—atau versi dunia di sekitar mereka—banyak individu mulai melakukan diet ekstrem, olahraga kompulsif, atau bahkan menghindari makanan sama sekali. Bila pola ini terus berlangsung, risiko berkembangnya gangguan makan seperti Anoreksia Nervosa dan Body Dysmorphic Disorder (BDD)—gangguan psikologis ketika seseorang memiliki obsesi berlebihan terhadap satu atau lebih kekurangan pada tubuhnya. Dua gangguan psikologis yang sering saling berkaitan, terutama pada individu yang memiliki citra tubuh rendah (low body image).
Konsepsi ini sejalan dengan buku “Cantik Itu Luka” karya Eka Kurniawan. Cantik, dalam gambaran budaya saat ini, sering kali bukan membawa kebahagiaan, tetapi tekanan, kecemasan, dan rasa tidak aman. Upaya menjadi cantik kerap membuat seseorang mengorbankan kesehatan, kebebasan, dan ketenangan batin. Namun penting dipahami bahwa luka ini bukan tidak bisa sembuh. Dengan edukasi, dukungan sosial, terapi psikologis, dan rekonstruksi makna cantik—dari yang membatasi menjadi yang memberdayakan—seseorang dapat berdamai dengan tubuhnya dan mulai melihat dirinya bukan dari kekurangan, tetapi dari keberadaannya sebagai manusia yang layak dicintai.
Meskipun low body image umumnya berdampak negatif, dalam beberapa kasus kondisi ini dapat memunculkan dampak positif tidak langsung, seperti meningkatnya motivasi untuk hidup lebih sehat, tumbuhnya kesadaran diri terhadap pola pikir dan pengaruh lingkungan, serta berkembangnya empati terhadap orang lain yang mengalami hal serupa. Selain itu, perasaan tidak puas pada tubuh dapat menjadi titik awal bagi seseorang untuk mencari bantuan profesional atau memulai perjalanan pengembangan diri, sehingga membawa perubahan positif jika diolah dengan cara yang sehat dan didukung lingkungan yang tepat.
Pada akhirnya, bukan berarti kecantikan selalu menyakitkan. Ia mengingatkan kita bahwa kecantikan yang didefinisikan oleh dunia luar sering kali melukai, tetapi kecantikan yang didefinisikan dari dalam diri dapat menyembuhkan. Tubuh bukan musuh; ia adalah rumah. Dan setiap rumah, dengan segala bentuk dan lukanya, tetap berharga untuk dirawat dan dihargai.


Tidak ada komentar: