Di tengah dunia yang dipenuhi standar kecantikan yang kian sempit, banyak orang tumbuh dengan perasaan bahwa tubuh mereka tidak pernah cukup baik. Citra tubuh yang rendah atau low body image, bukan hanya tentang ketidakpuasan terhadap penampilan, tetapi tentang luka psikologis yang pelan-pelan terbentuk dari pandangan sosial dan budaya yang memuja kesempurnaan. Cermin yang seharusnya memantulkan realitas justru berubah menjadi alat yang mendistorsi diri—seolah apa pun yang terlihat tidak layak, tidak indah, tidak pantas.

Low body image adalah kondisi ketika seseorang melihat tubuhnya secara negatif dan tidak realistis. Ia memengaruhi cara seseorang menilai nilai dirinya sendiri, membuat tubuh dijadikan ukuran utama harga diri. Kondisi ini tidak muncul dalam semalam. Ia terbentuk dari komentar orang tua tentang berat badan, candaan teman sebaya, perbandingan dengan figur yang dilihat di media sosial, dan tekanan sosial untuk memenuhi standar “cantik”. Pada titik tertentu, cantik bukan lagi sekadar keinginan, tetapi tuntutan yang melukai.

Secara psikologis, low body image berdampak luas. Banyak individu merasa terjebak dalam kecemasan sosial. Mereka mulai menghindari kehidupan sosial, merasa tidak pantas berada di keramaian atau kehilangan kepercayaan diri hanya karena merasa tubuhnya “salah”. Rasa tidak puas terhadap tubuh bertransformasi menjadi rasa tidak puas terhadap diri secara keseluruhan, menimbulkan perasaan gagal, malu, dan tidak berharga.

Dalam banyak kasus, low body image juga melahirkan obsesi terhadap kesempurnaan fisik. Seseorang bisa terus-menerus memandangi kekurangan kecil pada tubuhnya, merasakan kebutuhan kompulsif untuk memperbaiki sesuatu yang sebenarnya tidak bermasalah. Pikiran mengenai tubuh menguasai hari-hari mereka: apa yang harus dimakan, bagaimana tampil, bagaimana menghindari penilaian orang lain. Tubuh menjadi medan perang yang dipenuhi kritik.

Di sinilah low body image dapat berkembang menjadi perilaku berbahaya. Untuk mencapai tubuh ideal versi mereka—atau versi dunia di sekitar mereka—banyak individu mulai melakukan diet ekstrem, olahraga kompulsif, atau bahkan menghindari makanan sama sekali. Bila pola ini terus berlangsung, risiko berkembangnya gangguan makan seperti Anoreksia Nervosa dan Body Dysmorphic Disorder (BDD)gangguan psikologis ketika seseorang memiliki obsesi berlebihan terhadap satu atau lebih kekurangan pada tubuhnya. Dua gangguan psikologis yang sering saling berkaitan, terutama pada individu yang memiliki citra tubuh rendah (low body image).

Konsepsi ini sejalan dengan buku “Cantik Itu Luka” karya Eka Kurniawan. Cantik, dalam gambaran budaya saat ini, sering kali bukan membawa kebahagiaan, tetapi tekanan, kecemasan, dan rasa tidak aman. Upaya menjadi cantik kerap membuat seseorang mengorbankan kesehatan, kebebasan, dan ketenangan batin. Namun penting dipahami bahwa luka ini bukan tidak bisa sembuh. Dengan edukasi, dukungan sosial, terapi psikologis, dan rekonstruksi makna cantik—dari yang membatasi menjadi yang memberdayakan—seseorang dapat berdamai dengan tubuhnya dan mulai melihat dirinya bukan dari kekurangan, tetapi dari keberadaannya sebagai manusia yang layak dicintai.

Meskipun low body image umumnya berdampak negatif, dalam beberapa kasus kondisi ini dapat memunculkan dampak positif tidak langsung, seperti meningkatnya motivasi untuk hidup lebih sehat, tumbuhnya kesadaran diri terhadap pola pikir dan pengaruh lingkungan, serta berkembangnya empati terhadap orang lain yang mengalami hal serupa. Selain itu, perasaan tidak puas pada tubuh dapat menjadi titik awal bagi seseorang untuk mencari bantuan profesional atau memulai perjalanan pengembangan diri, sehingga membawa perubahan positif jika diolah dengan cara yang sehat dan didukung lingkungan yang tepat.

Pada akhirnya, bukan berarti kecantikan selalu menyakitkan. Ia mengingatkan kita bahwa kecantikan yang didefinisikan oleh dunia luar sering kali melukai, tetapi kecantikan yang didefinisikan dari dalam diri dapat menyembuhkan. Tubuh bukan musuh; ia adalah rumah. Dan setiap rumah, dengan segala bentuk dan lukanya, tetap berharga untuk dirawat dan dihargai.

wildan mubaarak Minggu, November 16, 2025
Read more ...

Setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam merasakan, memproses, dan menanggapi dunia di sekitarnya. Ada yang bisa menjalani hari dengan tenang meski berada di tengah keramaian, ada pula yang merasa mudah kewalahan hanya karena suasana terlalu bising atau penuh tekanan. Individu yang termasuk dalam kelompok kedua sering kali disebut sebagai Highly Sensitive Person (HSP), yaitu orang yang memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap rangsangan, baik dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri.

Istilah Highly Sensitive Person pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Dr. Elaine N. Aron yang juga seorang HSP pada tahun 1990-an dalam bukunya yang berjudul The Highly Sensitive Person: How to Thrive When The World Overwhelms You. Menurutnya, sekitar 20% populasi dunia memiliki karakteristik ini. Sepanjang hidupnya, Elaine merasa dirinya sangat unik karena sensitivitas yang dimilikinya. Ia menyebarkan angket ke ribuan orang mengenai sensitivitas dan mewawancarai ratusan orang yang merasa sangat sensitif atas rangsangan fisik, intelektual, dan emosional. Dari hasil penelitiannya, tercetuslah istilah HSP untuk menggambarkan sekelompok manusia yang memiliki sensitivitas tinggi daripada manusia umumnya. 

Seorang HSP memiliki sistem saraf yang lebih sensitif, sehingga cenderung memproses informasi, perasaan, dan pengalaman dengan cara yang lebih mendalam dibanding kebanyakan orang. Mereka lebih peka terhadap perubahan suasana hati orang lain, mudah menangkap detail kecil, dan sering kali berpikir panjang sebelum bertindak. Tingkatan sensitivitasnya berbeda-beda, ada yang sekedar lebih sensitif dari kebanyakan orang, ada juga yang sangat sensitif sehingga mereka sering menghindar dari banyak stimulus dari luar dan memilih berdiam diri di kamar. Maka dari itu seorang HSP sering disebut sebagai pemalu dan introvert, padahal itu merupakan tiga hal yang berbeda.

Untuk mengidentifikasikan seseorang HSP atau bukan, ada beberapa pertanyaan yang disusun oleh Dr. Elaine N. Aron.

  • Apakah anda mudah kewalahan oleh hal-hal seperti lampu terang, bau yang kuat, tekstur barang kasar, atau suara sirine?
  • Apakah anda memiliki kehidupan batin yang kaya dan kompleks?
  • Ketika masih kecil, apakah orang tua atau guru menilai anda sebagai orang yang sensitif atau pemalu?
  • Apakah anda melihat segala hal dengan sangat detail (kondisi ruangan, gestur, dan ekspresi lawan bicara)?
  • Apakah anda mudah mendeteksi emosi orang lain dan terpengaruh suasana hati mereka?
  • Pada hari-hari yang padat dan sibuk, apakah anda perlu menarik diri ke tempat tidur atau kamar yang gelap atau tempat lain di mana anda dapat memiliki privasi dan kelegaan dari situasi tersebut?
  • Apakah anda bingung ketika harus melakukan banyak hal dalam waktu yang singkat?
  • Apakah anda berusaha menghindari film-film yang mengandung unsur kekerasan seperti pembunuhan?
  • Apakah anda berusaha mengatur hidup anda agar terhindar dari situasi yang membuat kesal atau mendapatkan stimulus yang berlebihan?
  • Apakah anda menikmati atau memperhatikan aroma, rasa, suara, atau karya seni yang indah?

Jika menjawab “ya” pada hampir seluruh pertanyaan, bisa dikatakan anda seorang HSP, untuk mengetahui lebih detailnya disarankan untuk mengunjungi laman resmi HSP di internet (hsperson.com) yang dibuat Elaine untuk membantu para HSP memahami dirinya. Ada juga tes yang membantu apakah anda seorang HSP atau bukan. 

HSP memiliki aktivitas saraf yang jauh lebih aktif daripada kebanyakan orang. Menerima stimulus dalam bentuk apapun (suara, sentuhan, visual, bau, suhu, intelektual, dan perasaan) akan membuat mereka mengalami banyak sensasi, baik itu fisik maupun psikis. Hal ini disebut sebagai Overexcitabilities (OEs), yakni kondisi tubuh yang lebih sensitif dan peka daripada orang kebanyakan. Tak jarang, sifat ini juga membuat HSP memiliki jiwa seni dan kreativitas yang tinggi, karena mereka mampu menangkap keindahan dalam hal-hal sederhana. Kepekaan yang dimiliki seorang HSP sebenarnya merupakan bentuk kedalaman emosional dan kesadaran yang tinggi.

Di satu sisi, sensitivitas membuat mereka lebih berempati karena sangat mudah untuk memahami orang lain. Di sisi lain, mereka tidak dapat mengendalikan empati tersebut. HSP kerap menyerap emosi negatif dari orang-orang di sekitar mereka, menjadi spons yang menyerap semua kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan orang lain. Kemampuan inilah yang menyebabkan mereka mudah kewalahan ketika harus bertemu banyak orang. Hal ini bisa terjadi karena manusia memiliki sistem yang bernama mirror neuron system, jaringan sel saraf di otak yang aktif baik saat seseorang melakukan suatu tindakan maupun saat ia mengamati orang lain melakukan tindakan yang sama. Dengan kata lain, neuron-neuron ini “mencerminkan” perilaku yang dilihat, seolah-olah otak ikut melakukan hal tersebut.

Penerimaan diri menjadi kunci utama. Ketika seorang HSP mampu memahami dan menghargai kepekaannya, mereka akan melihat bahwa sifat ini bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Dunia membutuhkan orang-orang yang peka — mereka yang bisa merasakan kedalaman emosi, memahami makna di balik setiap peristiwa, dan membawa empati di tengah kerasnya kehidupan modern. Orang-orang New Age menyebut HSP sebagai empaths atau old souls — orang yang memiliki getaran energi lembut, empati tinggi, dan kemampuan alami untuk menyembuhkan diri maupun orang lain.

Andai saja semua orang memliki sensitivitas yang tinggi, dunia ini pasti akan menjadi dunia yang indah dan penuh keramahan. Tidak ada yang menyakiti satu sama lain. Semua orang akan saling membatu untuk menetralkan emosi negatif dari orang yang hatinya terluka. Tidak ada kekerasan. Tidak ada hiruk pikuk karena semua orang senang ketenangan. Tidak ada peperangan karena HSP tidak menyukai suara bising sirine, bunyi ledakan bom, dan zat kimia yang digunakan untuk pembunuhan massal.

Menjadi Highly Sensitive Person berarti memiliki kemampuan untuk melihat dan merasakan dunia dengan cara yang lebih lembut dan mendalam. Di balik kepekaan itu, tersimpan potensi besar untuk menghadirkan kebaikan, keindahan, dan ketulusan yang sering kali dibutuhkan oleh dunia yang sibuk dan penuh tekanan seperti sekarang ini.


wildan mubaarak Kamis, November 13, 2025
Read more ...
 
 
Sejak kecil, banyak laki-laki tumbuh dengan pesan yang sama: “jangan menangis”, “harus kuat”, “jangan terlihat lemah”. Kalimat-kalimat sederhana itu sering dianggap sebagai bentuk pendidikan agar anak laki-laki menjadi tangguh. Namun, di balik maksud baik tersebut, tersembunyi tekanan sosial yang besar. Tekanan itu membuat banyak laki-laki terjebak dalam apa yang disebut toxic masculinity atau “jebakan maskulinitas” (masculinity trap) — sebuah konsep yang membuat laki-laki susah membahas hal-hal yang bersifat emosional. Oleh sebab itu, kebanyakan pria mengalihkan beban emosi mereka ke gitar, sepakbola, rokok, dan perilaku agresif.

Toxic masculinity bukan berarti semua bentuk maskulinitas itu buruk. Maskulinitas bisa menjadi hal yang positif: keberanian, tanggung jawab, dan keteguhan adalah nilai yang baik. Namun, ketika maskulinitas dipahami secara sempit — hanya sebagai kekuatan fisik, dominasi, dan kendali atas orang lain — ia berubah menjadi racun. Racun yang tidak hanya menyakiti diri sendiri, tetapi juga orang di sekitar. Laki-laki yang terus-menerus ditekan untuk terlihat kuat akhirnya kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara sehat. Mereka takut terlihat rapuh, takut dianggap gagal sebagai pria. 

Budaya dan media memperkuat jebakan ini. Film, iklan, dan musik sering menggambarkan pria ideal sebagai sosok yang dingin, tangguh, dan tak tersentuh oleh perasaan. Jarang sekali ditunjukkan laki-laki yang menangis tanpa dipermalukan. Akibatnya, banyak pria tumbuh dengan keyakinan bahwa kerapuhan (vulnerability) merupakan "aib". Padahal, emosi adalah bagian alami dari manusia — bukan kelemahan. Ketika emosi ditekan terlalu lama, dampaknya bisa serius: stres, depresi, bahkan kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Seperti halnya perempuan, laki-laki juga memiliki emosi. Tidak ada istilah perempuan lebih emosional dibandingkan laki-laki. Hal ini juga serupa dengan fakta bahwa perempuan itu makhluk seksual, sama seperti laki-laki. Pembagian dua kelompok yang saling bertentangan seperti itu hanyalah konsepsi masyarakat yang menginginkan laki-laki harus selalu terlihat kuat dan menuntut perempuan agar lebih sopan.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih jarang mencari bantuan psikologis dibandingkan perempuan karena takut dianggap “lemah”. Ini adalah salah satu bukti nyata bagaimana toxic masculinity menjerat mereka. Di sisi lain, konsep maskulinitas beracun juga melanggengkan kekerasan dan ketimpangan gender. Laki-laki yang menganggap kekuasaan sebagai ukuran kejantanan sering memandang perempuan lebih rendah, dan dari sinilah muncul perilaku agresif, pelecehan, atau dominasi yang tidak sehat. Dengan kata lain, toxic masculinity bukan hanya masalah pribadi, tapi juga masalah sosial.

Dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat, harusnya kita sadar dan mulai berani membongkar standar lama itu. Banyak platform media sosial dan gerakan kesetaraan gender membuka ruang diskusi tentang pentingnya menjadi laki-laki yang autentik — yang berani menunjukkan perasaan, menghargai orang lain, dan jujur pada dirinya sendiri. Banyak kampanye publik mulai berbicara tentang kesehatan mental dan pentingnya kerentanan sebagai bentuk keberanian baru. Menangis bukan lagi tanda kelemahan, melainkan ekspresi kemanusiaan.

Melepaskan diri dari masculinity trap memang tidak mudah. Masyarakat telah lama menanamkan nilai-nilai maskulinitas konvensional yang kuat. Kita sebagai gernerasi muda dapat mengajarkan kepada anak laki-laki kita bahwa empati dan kelembutan bukanlah sifat yang memalukan. Sekolah dapat memberi ruang bagi pendidikan emosional dan gender yang seimbang. Dan yang paling penting, dimulai dari kita (pria) dengan memberi izin pada diri sendiri untuk menjadi manusia—bukan hanya sekadar simbol kekuatan.

Perubahan dimulai dari kesadaran. Kini, kebiasaan harus diubah. Orang ingin hidup bebas dari kepalsuan dengan mengedepankan authenticity dan vulnerability (keaslian dan kerapuhan). Menjadi laki-laki seharusnya tidak berarti menekan emosi, mendominasi, atau berpura-pura sempurna. Menjadi laki-laki adalah tentang keberanian untuk jujur pada diri sendiri, untuk merasa, dan untuk peduli. Maskulinitas tidak harus dihapus, tetapi perlu didefinisikan ulang: bukan lagi sebagai bentuk kekuasaan, melainkan tanggung jawab dan empati. Dengan begitu, kita semua — baik laki-laki maupun perempuan — bisa bebas dari jebakan peran yang mengekang dan hidup dengan lebih manusiawi.



wildan mubaarak Rabu, November 12, 2025
Read more ...

https://idn.freepik.com/vektor/depresi

Depresi Adalah Penyakit Nyata. Depresi, kecemasan, panik, dan bipolar sebenarnya termasuk penyakit mental, atau mental illness. Jika kita mendengar kata “sakit” dan “mental” sering kali terdengar menakutkan. Banyak orang langsung membayangkan orang-orang yang dikurung di rumah sakit jiwa atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang berkeliaran di jalanan. Padahal, sakit mental tidak selalu seperti itu. Sakit mental bisa berarti seseorang tidak berfungsi secara optimal sebagai manusia, misalnya merasa sangat sedih, kehilangan semangat, atau sedang berada dalam episode depresi klinis. Secara sederhana, depresi adalah gangguan yang melibatkan tubuh, pikiran, dan lingkungan sosial seseorang. Secara biologis, depresi bisa dipengaruhi oleh faktor genetik, struktur otak, dan zat kimia dalam tubuh. Secara psikologis, depresi membuat suasana hati terasa buruk dalam waktu lama. Sementara secara sosial, depresi bisa muncul karena hubungan dengan orang lain atau lingkungan sekitar. Ada juga yang melihat depresi dari sisi spiritual — ketika seseorang merasa kehilangan makna atau arah hidupnya. Sayangnya, masih banyak orang yang menganggap remeh sakit mental. Kalau kita sakit fisik, biasanya orang akan menyarankan untuk istirahat, makan yang bergizi, atau memberi dukungan agar cepat sembuh. Tapi kalau kita bilang sedang depresi atau “sakit mental”, sering kali responnya berbeda. Ada yang bilang kita terlalu lemah, kurang bersyukur, atau hanya mencari perhatian. Padahal, depresi bukan soal mental yang lemah, melainkan kondisi yang nyata dan bisa dialami siapa pun. Orang yang mengalami depresi sering terlihat “baik-baik saja”. Mereka masih bisa tersenyum, bercanda, atau bekerja seperti biasa, padahal di dalam pikirannya sedang ada banyak kekacauan. Depresi juga tidak selalu punya penyebab yang jelas. Kadang muncul karena peristiwa yang sudah lama berlalu, bahkan karena hal kecil yang dianggap sepele oleh orang lain. Masalahnya bukan seberapa kecil atau remeh peristiwa yang dialami, tapi bagaimana perasaan seseorang menanggapinya (masuk ke pemahaman stressor). Saat seseorang mengalami gangguan depresi mayor, pikiran dan perasaannya jadi sulit dikendalikan. Ingatan buruk, rasa bersalah, dan kata-kata negatif bisa terus berputar di kepala. Hal ini menyebabkan suasana hati menurun, energi berkurang, dan tubuh terasa lelah. Gejalanya bisa berupa kehilangan nafsu makan, sulit tidur, merasa hampa, atau tidak punya harapan selama lebih dari dua minggu. Untuk memastikan seseorang mengalami depresi, dibutuhkan pemeriksaan dari psikolog atau psikiater. Menurut buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), seseorang bisa dikatakan mengalami depresi jika mengalami lima atau lebih gejala berikut selama setidaknya dua minggu: * Suasana hati yang sedih hampir setiap hari (Depressed Mood). * Kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu menyenangkan. * Berat badan naik atau turun tanpa alasan jelas. * Susah tidur atau justru tidur berlebihan. * Bergerak dan berbicara jadi lebih lambat, atau malah gelisah terus. * Mudah lelah dan kehilangan energi. * Merasa tidak berharga atau bersalah berlebihan. * Sulit fokus dan mengambil keputusan. * Sering muncul pikiran tentang kematian atau keinginan mengakhiri hidup. Dua gejala utama yang paling sering muncul adalah perasaan sedih yang sangat mendalam (Depressed Mood) dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu disukai. Kalau kedua gejala ini muncul disertai beberapa gejala lain selama dua minggu atau lebih, sebaiknya segera konsultasikan ke profesional (psikolog atau psikiater). Depresi bukan penyakit yang datang lalu pergi begitu saja. Ia bisa bertahan lama, bahkan bertahun-tahun, dan perlahan menggerogoti kewarasan seseorang. Jika tidak ditangani, depresi bisa membuat seseorang kehilangan kendali atas pikiran dan emosinya, seperti terjebak dalam lubang hitam yang sama berulang kali. Kondisi ini disebut episode depresi mayor, yang bisa berlangsung dari dua minggu hingga dua tahun. Setelah sembuh pun, peluang untuk kambuh kembali cukup besar — lebih dari 80%. Orang yang pernah mengalami depresi bisa mengalaminya beberapa kali seumur hidup. Setiap episode bisa berlangsung sekitar lima bulan atau lebih lama. Biasanya, ini terjadi karena proses penyembuhan belum benar-benar tuntas. Kadang seseorang merasa sudah pulih, tapi masih menyimpan luka atau emosi yang belum selesai. Banyak juga yang berpura-pura baik-baik saja agar orang lain tidak khawatir. Padahal, sisa emosi negatif yang dipendam inilah yang bisa membuat depresi kambuh lagi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi mindfulness — atau meditasi yang digabungkan dengan terapi psikologi — bisa membantu mencegah kambuhnya depresi. Risiko kambuh yang semula sekitar 80% bisa turun menjadi 37%.

Depresi berbeda dengan rasa sedih biasa. Sedih biasanya datang dan pergi, tapi depresi bisa bertahan lama dan mengganggu kehidupan sehari-hari. Jika gejala depresi mulai terasa pada diri sendiri, cobalah berhenti sejenak dan dengarkan tubuh serta pikiranmu. Kalau kamu melihat tanda-tanda ini pada orang lain, jangan langsung menilai. Terkadang, perhatian kecil bisa sangat berarti bagi mereka yang sedang berjuang dalam diam.


wildan mubaarak Selasa, November 11, 2025
Read more ...

Hari ini menjadi momen bersejarah bagi Indonesia tercinta. Dua peristiwa penting yang akan dikenang oleh seluruh rakyat—purna tugas dan pelantikan—berlangsung bersamaan. Dengan adanya purna tugas seorang pemimpin dan penggantian oleh sosok baru, kita berharap ada perubahan arah bagi bangsa ini yang lebih terarah dan berkesinambungan. Meskipun banyak kebijakan yang hanya melanjutkan tradisi pemimpin sebelumnya, secara umum perkembangan bangsa ini terbilang lambat, dipengaruhi oleh berbagai penyelewengan yang terjadi baik dari masyarakat maupun penyelenggara negara, yang menjadi hambatan bagi Indonesia untuk menjadi negara maju.

Menggenggam kembali dua periode kepemimpinan Jokowi, berbagai polemik muncul akibat banyak kebijakan yang anti-rakyat, serta pengabaian terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Di akhir masa jabatannya, beberapa prinsip konstitusi juga dilanggar, dimulai dengan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) pada November 2020. Undang-undang ini bertujuan menarik investor dengan menciptakan lapangan kerja melalui rezim upah murah yang berdampak negatif terhadap hak-hak pekerja dan memberi kemudahan bagi perusahaan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi lingkungan.

Setahun kemudian, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa peraturan tersebut cacat dan perlu diperbaiki dalam waktu dua tahun. Namun, pemerintah justru mengakali ini dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja pada Desember 2022, yang kemudian disahkan menjadi undang-undang oleh DPR.

Tak hanya Omnibus Law, kita juga tidak bisa melupakan pelemahan KPK, Undang-Undang Transaksi Elektronik (ITE), penanganan pandemi Covid-19 yang buruk, intervensi kekuasaan, perubahan undang-undang yang kontroversial, krisis keterbukaan informasi, dan banyak lagi penyimpangan yang terjadi. Kebijakan-kebijakan ini cenderung memprioritaskan kepentingan oligarki daripada rakyat, sehingga perubahan yang signifikan sulit terwujud karena kekuatan ekonomi dan politik terkonsentrasi pada segelintir elite.

Pergerakan Jokowi sebenarnya telah terdeteksi oleh Jeffrey A. Winters saat sebelum ia menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta dalam jurnalnya, "Oligarchy and Democracy in Indonesia." Jeffrey A. Winters

Saat ini, Indonesia membutuhkan pemerintahan yang berpihak pada rakyat. Agenda utama pemerintah harus mencakup redistribusi ekonomi, perlindungan lingkungan, serta jaminan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Semoga kebijakan yang diambil ke depan lebih mengutamakan kepentingan rakyat dan bangsa.


"Leiden is Lijden."

- K.H. Agus Salim

wildan mubaarak Minggu, Oktober 20, 2024
Read more ...