Sejak kecil, banyak laki-laki tumbuh dengan pesan yang sama: “jangan menangis”, “harus kuat”, “jangan terlihat lemah”. Kalimat-kalimat sederhana itu sering dianggap sebagai bentuk pendidikan agar anak laki-laki menjadi tangguh. Namun, di balik maksud baik tersebut, tersembunyi tekanan sosial yang besar. Tekanan itu membuat banyak laki-laki terjebak dalam apa yang disebut toxic masculinity atau “jebakan maskulinitas” (masculinity trap) — sebuah konsep yang membuat laki-laki susah membahas hal-hal yang bersifat emosional. Oleh sebab itu, kebanyakan pria mengalihkan beban emosi mereka ke gitar, sepakbola, rokok, dan perilaku agresif.

Toxic masculinity bukan berarti semua bentuk maskulinitas itu buruk. Maskulinitas bisa menjadi hal yang positif: keberanian, tanggung jawab, dan keteguhan adalah nilai yang baik. Namun, ketika maskulinitas dipahami secara sempit — hanya sebagai kekuatan fisik, dominasi, dan kendali atas orang lain — ia berubah menjadi racun. Racun yang tidak hanya menyakiti diri sendiri, tetapi juga orang di sekitar. Laki-laki yang terus-menerus ditekan untuk terlihat kuat akhirnya kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara sehat. Mereka takut terlihat rapuh, takut dianggap gagal sebagai pria. 

Budaya dan media memperkuat jebakan ini. Film, iklan, dan musik sering menggambarkan pria ideal sebagai sosok yang dingin, tangguh, dan tak tersentuh oleh perasaan. Jarang sekali ditunjukkan laki-laki yang menangis tanpa dipermalukan. Akibatnya, banyak pria tumbuh dengan keyakinan bahwa kerapuhan (vulnerability) merupakan "aib". Padahal, emosi adalah bagian alami dari manusia — bukan kelemahan. Ketika emosi ditekan terlalu lama, dampaknya bisa serius: stres, depresi, bahkan kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Seperti halnya perempuan, laki-laki juga memiliki emosi. Tidak ada istilah perempuan lebih emosional dibandingkan laki-laki. Hal ini juga serupa dengan fakta bahwa perempuan itu makhluk seksual, sama seperti laki-laki. Pembagian dua kelompok yang saling bertentangan seperti itu hanyalah konsepsi masyarakat yang menginginkan laki-laki harus selalu terlihat kuat dan menuntut perempuan agar lebih sopan.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih jarang mencari bantuan psikologis dibandingkan perempuan karena takut dianggap “lemah”. Ini adalah salah satu bukti nyata bagaimana toxic masculinity menjerat mereka. Di sisi lain, konsep maskulinitas beracun juga melanggengkan kekerasan dan ketimpangan gender. Laki-laki yang menganggap kekuasaan sebagai ukuran kejantanan sering memandang perempuan lebih rendah, dan dari sinilah muncul perilaku agresif, pelecehan, atau dominasi yang tidak sehat. Dengan kata lain, toxic masculinity bukan hanya masalah pribadi, tapi juga masalah sosial.

Dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat, harusnya kita sadar dan mulai berani membongkar standar lama itu. Banyak platform media sosial dan gerakan kesetaraan gender membuka ruang diskusi tentang pentingnya menjadi laki-laki yang autentik — yang berani menunjukkan perasaan, menghargai orang lain, dan jujur pada dirinya sendiri. Banyak kampanye publik mulai berbicara tentang kesehatan mental dan pentingnya kerentanan sebagai bentuk keberanian baru. Menangis bukan lagi tanda kelemahan, melainkan ekspresi kemanusiaan.

Melepaskan diri dari masculinity trap memang tidak mudah. Masyarakat telah lama menanamkan nilai-nilai maskulinitas konvensional yang kuat. Kita sebagai gernerasi muda dapat mengajarkan kepada anak laki-laki kita bahwa empati dan kelembutan bukanlah sifat yang memalukan. Sekolah dapat memberi ruang bagi pendidikan emosional dan gender yang seimbang. Dan yang paling penting, dimulai dari kita (pria) dengan memberi izin pada diri sendiri untuk menjadi manusia—bukan hanya sekadar simbol kekuatan.

Perubahan dimulai dari kesadaran. Kini, kebiasaan harus diubah. Orang ingin hidup bebas dari kepalsuan dengan mengedepankan authenticity dan vulnerability (keaslian dan kerapuhan). Menjadi laki-laki seharusnya tidak berarti menekan emosi, mendominasi, atau berpura-pura sempurna. Menjadi laki-laki adalah tentang keberanian untuk jujur pada diri sendiri, untuk merasa, dan untuk peduli. Maskulinitas tidak harus dihapus, tetapi perlu didefinisikan ulang: bukan lagi sebagai bentuk kekuasaan, melainkan tanggung jawab dan empati. Dengan begitu, kita semua — baik laki-laki maupun perempuan — bisa bebas dari jebakan peran yang mengekang dan hidup dengan lebih manusiawi.



wildan mubaarak Rabu, November 12, 2025
Read more ...

https://idn.freepik.com/vektor/depresi

Depresi Adalah Penyakit Nyata. Depresi, kecemasan, panik, dan bipolar sebenarnya termasuk penyakit mental, atau mental illness. Jika kita mendengar kata “sakit” dan “mental” sering kali terdengar menakutkan. Banyak orang langsung membayangkan orang-orang yang dikurung di rumah sakit jiwa atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang berkeliaran di jalanan. Padahal, sakit mental tidak selalu seperti itu. Sakit mental bisa berarti seseorang tidak berfungsi secara optimal sebagai manusia, misalnya merasa sangat sedih, kehilangan semangat, atau sedang berada dalam episode depresi klinis. Secara sederhana, depresi adalah gangguan yang melibatkan tubuh, pikiran, dan lingkungan sosial seseorang. Secara biologis, depresi bisa dipengaruhi oleh faktor genetik, struktur otak, dan zat kimia dalam tubuh. Secara psikologis, depresi membuat suasana hati terasa buruk dalam waktu lama. Sementara secara sosial, depresi bisa muncul karena hubungan dengan orang lain atau lingkungan sekitar. Ada juga yang melihat depresi dari sisi spiritual — ketika seseorang merasa kehilangan makna atau arah hidupnya. Sayangnya, masih banyak orang yang menganggap remeh sakit mental. Kalau kita sakit fisik, biasanya orang akan menyarankan untuk istirahat, makan yang bergizi, atau memberi dukungan agar cepat sembuh. Tapi kalau kita bilang sedang depresi atau “sakit mental”, sering kali responnya berbeda. Ada yang bilang kita terlalu lemah, kurang bersyukur, atau hanya mencari perhatian. Padahal, depresi bukan soal mental yang lemah, melainkan kondisi yang nyata dan bisa dialami siapa pun. Orang yang mengalami depresi sering terlihat “baik-baik saja”. Mereka masih bisa tersenyum, bercanda, atau bekerja seperti biasa, padahal di dalam pikirannya sedang ada banyak kekacauan. Depresi juga tidak selalu punya penyebab yang jelas. Kadang muncul karena peristiwa yang sudah lama berlalu, bahkan karena hal kecil yang dianggap sepele oleh orang lain. Masalahnya bukan seberapa kecil atau remeh peristiwa yang dialami, tapi bagaimana perasaan seseorang menanggapinya (masuk ke pemahaman stressor). Saat seseorang mengalami gangguan depresi mayor, pikiran dan perasaannya jadi sulit dikendalikan. Ingatan buruk, rasa bersalah, dan kata-kata negatif bisa terus berputar di kepala. Hal ini menyebabkan suasana hati menurun, energi berkurang, dan tubuh terasa lelah. Gejalanya bisa berupa kehilangan nafsu makan, sulit tidur, merasa hampa, atau tidak punya harapan selama lebih dari dua minggu. Untuk memastikan seseorang mengalami depresi, dibutuhkan pemeriksaan dari psikolog atau psikiater. Menurut buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), seseorang bisa dikatakan mengalami depresi jika mengalami lima atau lebih gejala berikut selama setidaknya dua minggu: * Suasana hati yang sedih hampir setiap hari (Depressed Mood). * Kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu menyenangkan. * Berat badan naik atau turun tanpa alasan jelas. * Susah tidur atau justru tidur berlebihan. * Bergerak dan berbicara jadi lebih lambat, atau malah gelisah terus. * Mudah lelah dan kehilangan energi. * Merasa tidak berharga atau bersalah berlebihan. * Sulit fokus dan mengambil keputusan. * Sering muncul pikiran tentang kematian atau keinginan mengakhiri hidup. Dua gejala utama yang paling sering muncul adalah perasaan sedih yang sangat mendalam (Depressed Mood) dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu disukai. Kalau kedua gejala ini muncul disertai beberapa gejala lain selama dua minggu atau lebih, sebaiknya segera konsultasikan ke profesional (psikolog atau psikiater). Depresi bukan penyakit yang datang lalu pergi begitu saja. Ia bisa bertahan lama, bahkan bertahun-tahun, dan perlahan menggerogoti kewarasan seseorang. Jika tidak ditangani, depresi bisa membuat seseorang kehilangan kendali atas pikiran dan emosinya, seperti terjebak dalam lubang hitam yang sama berulang kali. Kondisi ini disebut episode depresi mayor, yang bisa berlangsung dari dua minggu hingga dua tahun. Setelah sembuh pun, peluang untuk kambuh kembali cukup besar — lebih dari 80%. Orang yang pernah mengalami depresi bisa mengalaminya beberapa kali seumur hidup. Setiap episode bisa berlangsung sekitar lima bulan atau lebih lama. Biasanya, ini terjadi karena proses penyembuhan belum benar-benar tuntas. Kadang seseorang merasa sudah pulih, tapi masih menyimpan luka atau emosi yang belum selesai. Banyak juga yang berpura-pura baik-baik saja agar orang lain tidak khawatir. Padahal, sisa emosi negatif yang dipendam inilah yang bisa membuat depresi kambuh lagi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi mindfulness — atau meditasi yang digabungkan dengan terapi psikologi — bisa membantu mencegah kambuhnya depresi. Risiko kambuh yang semula sekitar 80% bisa turun menjadi 37% jika terapi ini dikombinasikan dengan terapi psikologis. Depresi berbeda dengan rasa sedih biasa. Sedih biasanya datang dan pergi, tapi depresi bisa bertahan lama dan mengganggu kehidupan sehari-hari. Jika gejala depresi mulai terasa pada diri sendiri, cobalah berhenti sejenak dan dengarkan tubuh serta pikiranmu. Kalau kamu melihat tanda-tanda ini pada orang lain, jangan langsung menilai. Terkadang, perhatian kecil bisa sangat berarti bagi mereka yang sedang berjuang dalam diam.


wildan mubaarak Selasa, November 11, 2025
Read more ...