Terkadang, cinta tidak datang untuk mengisi kekosongan, tetapi untuk membuka luka-luka yang sudah lama kamu sembunyikan.

Karmic relationship, istilah yang jarang diketahui tentang dinamika cinta. Meski tidak termasuk istilah dalam psikologi klinis, konsep ini tetap menarik karena dianggap mampu menjelaskan mengapa sebagian hubungan terasa begitu intens, menguras emosi, namun penuh pelajaran hidup. Karmic relationship merujuk pada hubungan antara dua orang yang diyakini memiliki “ikatan karma” dari masa lalu—baik dalam bentuk konflik, keterikatan emosional, maupun pelajaran yang belum tuntas—sehingga mereka dipertemukan kembali di kehidupan sekarang untuk menyelesaikannya.

Dalam banyak artikel, hubungan jenis ini digambarkan sebagai hubungan yang sarat gejolak dan konflik batin. Ada rasa terseret, seolah-olah sudah lama saling mengenal, meski baru bertemu. Intensitas emosinya tinggi—penuh gairah, tetapi juga penuh konflik. Banyak yang menyebutnya seperti naik roller-coaster—ada masa-masa penuh romantika, namun tak lama kemudian muncul pertengkaran besar, luka, kecemasan, dan kebingungan. Perasaan dekat yang muncul sangat cepat justru menjadi ciri khas hubungan yang lebih dipengaruhi dorongan emosional ketimbang stabilitas jangka panjang.

Dinamika yang berlebih seperti itu dianggap muncul karena ada “pelajaran lama” yang belum selesai. Dua individu dipertemukan bukan untuk saling memiliki, melainkan untuk memulihkan luka atau menyelesaikan pola negatif yang terbentuk di masa lalu. Dalam pandangan ini, karmic relationship bukanlah tujuan, melainkan jembatan menuju pertumbuhan diri. Hubungan ini seperti cermin yang memantulkan sisi-sisi terdalam seseorang.

Namun, banyak psikolog menjelaskan istilah ini jangan sampai menutupi realitas. Meski pemahaman spiritual bisa memberi makna, dinamika yang sering disebut “karmic” sebenarnya dapat dijelaskan secara ilmiah. Hubungan yang intens namun penuh luka biasanya berkaitan dengan trauma bonding—ikatan emosional yang terbentuk karena pola konflik dan rekonsiliasi berulang. Selain itu, teori attachment menjelaskan bahwa individu dengan luka atau ketidakamanan emosional bisa lebih rentan terjerat dalam hubungan tarik-ulur yang tidak stabil. Jika seseorang meyakini bahwa hubungan itu “takdir” atau “hutang karma”, ada risiko ia bertahan dalam pola hubungan beracun karena merasa harus menyelesaikan sesuatu, padahal yang sebenarnya dibutuhkan adalah batasan sehat atau bahkan keberanian untuk pergi.

Menggabungkan pemahaman spiritual dan psikologis justru dapat memberikan pandangan yang lebih seimbang. Jika melihatnya sebagai cermin, karmic relationship dapat menjadi kesempatan untuk memahami pola diri, mengapa begitu mudah merasa tergantung, kenapa luka lama kembali muncul, atau mengapa konflik yang sama terus berulang. Dengan kesadaran ini, hubungan tersebut bisa menjadi ruang belajar—bukan untuk memperbaiki pasangan, tetapi untuk memperbaiki diri dan membangun batasan yang lebih sehat.

Berakhirnya sebuah karmic relationship bukanlah kegagalan. Dalam banyak sumber, justru ketika hubungan berakhir, pelajaran dianggap selesai. Seseorang telah tumbuh, lebih memahami dirinya, dan siap melangkah ke hubungan yang lebih dewasa. Cinta yang sehat tidak selalu hadir dalam bentuk ledakan emosi, melainkan dalam rasa tenang, saling menghormati, dan prinsip yang seimbang—sesuatu yang seringkali baru dipahami setelah melewati hubungan yang penuh turbulensi.

Dengan demikian, karmic relationship bisa dipahami sebagai perjalanan emosional yang intens, yang menguji dan membentuk seseorang. Terlepas dari keyakinan tentang karma atau kehidupan sebelumnya, hubungan semacam ini dapat memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana mengenali pola yang merugikan, bagaimana menyembuhkan diri, dan bagaimana memilih hubungan yang lebih sehat di masa depan.

Wildan Mubaarak Minggu, November 30, 2025
Read more ...

Pernah nggak sih, kamu sudah membuat keputusan yang sebenarnya agak maksa, tapi entah bagaimana tiba-tiba otakmu malah mendukungnya dengan penuh? Atau ego memaksa keputusan itu menjadi benar—daripada malu. Itulah yang disebut choice-supportive bias—bias kognitif yang membuat kita otomatis membela keputusan sendiri, bahkan ketika keputusan itu mungkin tidak layak dan masih ada pilihan lain yang lebih baik.

Bias ini bekerja sangat halus. Kita membeli sesuatu karena “udah terlanjur masuk keranjang”, lalu meyakinkan diri bahwa barang itu benar-benar kebutuhan primer, padahal sebenarnya kamu sendiri tidak sadar kalo dompetmu sedang menipis atau ketika kamu memilih hubungan yang… ya, mari jujur, lebih banyak dramanya daripada sinetron SCTV atau Indosiar, tetapi kamu tetap bertahan karena “aku pasti lihat sisi baiknya kok”. Iya, sisi baiknya mungkin ada, tapi ukurannya sebutir debu.

Otak kita itu lucu—kalau keputusan itu sudah terlanjur dibuat, otak merasa bertanggung jawab untuk menjaganya tetap terlihat cemerlang. Keputusan yang buruk diberi filter, diperhalus, dan disulap jadi “pilihan terbaik pada saat itu”. Semacam editing realitas dengan harapan kita tidak terlihat bodoh, bahkan di mata kita sendiri. Karena pada akhirnya, reputasi internal kita terlihat lebih penting daripada kebenaran objektif.

Masalahnya, bias ini membuat kita terlalu nyaman. Kita jadi jarang meninjau ulang kesalahan, karena semuanya sudah dicat ulang menjadi keputusan strategis. Padahal, ya, sebagian dari itu murni keputusan impulsif yang kita bungkus dengan nama intuisi. Tapi tenang, kita semua pernah di sana. Kita semua pernah membela pilihan yang bahkan kita sendiri tidak ingin akui secara penuh.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti menjadi impulsif bagi keputusan-keputusan selanjutnya. Sesekali, mari duduk, tatap pilihan kita dengan lampu putih terang tanpa filter, dan akui: “Ya, ini salah. Dan tidak apa-apa.” Dengan begitu, kita memberi ruang bagi diri sendiri untuk belajar, bukan sekadar membela. Karena hidup itu bukan tentang membuktikan bahwa kita selalu benar, tapi tentang memperbaiki ketika kita salah—meskipun, yah, ego kita mungkin akan protes sedikit.

Dan kalau egomu mulai ribut? Tenang saja. Bilang padanya: “Sabar, kita sedang upgrade.”

Wildan Mubaarak Kamis, November 27, 2025
Read more ...

Ada saat dalam hidup ketika aku merasa segala keputusan yang kuambil justru menjauhkan diriku dari tujuan yang selama ini kuimpikan. Aku merasa tersesat pada keputusanku sendiri, dan pada akhirnya aku perlahan kehilangan arah kehidupanku. Aku mencoba mencari sumber bacaan untuk menemukan apa yang selama ini terjadi padakumencari akar permasalahan yang mengekang diri ini. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menulis perlahan beberapa hal yang relevan dengan kondisiku saat ini.

Menurut teori Cognitive Dissonance yang dikemukakan Leon Festinger (baca: Cognitive Dissonance: Berpisah Bukan Karena Mau Tapi Harus), manusia sering mengalami konflik batin ketika keyakinan tidak sejalan dengan tindakan. Aku pun merasakan itu—di satu sisi aku percaya bahwa aku tahu apa yang terbaik untuk hidupku, namun tindakan-tindakanku justru membawaku pada kekecewaan dan ketidakpastian karena aku merasa benar—ada yang salah dengan pikiranku. Alih-alih berhenti dan mengevaluasi, aku memaksakan diri terus maju, hanya agar terlihat kuat (baca: Toxic Masculinity: Terkekangnya Kebebasan Emosional). Tetapi semakin keras aku berusaha, semakin jelas bahwa aku menjauh dari siapa diriku sebenarnya.

Aku terjebak dalam lingkaran Denial—salah satu mekanisme pertahanan ego menurut teori Sigmund Freud (baca: Psikoanalisis)—di mana aku menolak untuk mengakui kesalahan dan kelemahanku. Aku ingin terlihat sempurna, padahal kenyataannya tanpa sadar aku menghancurkan diriku sendiri. Ketika realita dan ekspektasi saling bertabrakan, rasa kehilangan arah itu pun tak terhindarkan.

Toxic masculinity berkaitan erat dengan psikoanalisis karena konsep tersebut dapat dipahami sebagai hasil internalisasi norma maskulinitas yang kaku melalui proses perkembangan psikoseksual dan dinamika keluarga dalam alam bawah sadar. Menurut perspektif psikoanalitik, anak laki-laki mengidentifikasi diri dengan figur ayah dan belajar menekan emosi yang dianggap feminin sehingga agresi dan dominasi muncul sebagai kompensasi ego. Represi emosi, kecemasan kehilangan otoritas, serta tuntutan performativitas gender menjadi bagian dari struktur kepribadian yang kemudian memunculkan perilaku maskulin yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dengan demikian, psikoanalisis menjelaskan bahwa toxic masculinity bukan sifat bawaan laki-laki, melainkan konstruksi psikologis dan sosial yang terbentuk dan dipertahankan secara tidak sadar.

Dalam konsep Erikson’s Psychosocial Development, fase dewasa muda adalah mencari identitas dan tujuan hidup (Identity vs. Role Confusion). Di sinilah aku menyadari bahwa kebingungan arah adalah bagian alami dari perkembanganku. Bahwa kegagalan bukan penanda berakhirnya perjalanan, melainkan titik balik untuk memahami jati diri.

Ketika akhirnya aku berhenti berlari dan menatap diriku sendiri, aku memahami sesuatu yang penting: Menerima kesalahan adalah bentuk keberanian psikologis. Dari penerimaan itu, muncul peluang untuk bertumbuh. Aku mulai mempraktikkan Self-Compassion yang dikemukakan oleh Kristin Neff—belajar memaafkan diri, memperlakukan diriku dengan kebaikan, bukan dengan kritik yang melukai.

Aku baru tersadar ketika aku mengingat satu kutipan yang selama ini terpendam jauh dalam diriku “Sebanyak jumlah manusia di bumi, sebanyak itu pula jalan menuju Tuhan” — Jalaluddin Rumi. Kutipan itu memberi spektrum yang sangat luas. Depresi menjadi penampar kehidupanku sendiri bahwa ada yang salah dalam hidupku dan menjadi pengingat bahwa aku tidak memerankan potensi terbaikku —terjebak dalam pola pikir yang salah. Memperbaiki pola pikir yang keliru, aku mulai menapaki jalan baru—lebih perlahan, lebih sadar, lebih jujur dengan diriku sendiri.

Aku yang salah, ya, tetapi aku juga yang akan memperbaiki kesalahan itu. Aku kehilangan arah, namun aku tahu, setiap langkah kecil yang kulakukan hari ini adalah usaha untuk kembali menemukan diri dan bunga kehidupan yang hilang.


Wildan Mubaarak Sabtu, November 22, 2025
Read more ...

Titik terdalam mencintai seseorang ialah merelakannya, benarkah demikian? Atau memang sudah tidak sejalan?

Dalam hubungan, ada masanya ketika hati dan pikiran tidak lagi berjalan searah. Kita mungkin mencintai seseorang begitu dalam—cukup dalam hingga kita memilih untuk menutup mata terhadap hal-hal yang menyakiti. Inilah dinamika paling sunyi dalam sebuah hubungan. Cognitive Dissonance, yaitu ketika logika dan perasaan saling bertentangan dan tak ada yang benar-benar menang. Kita tahu apa yang seharusnya dilakukan, namun hati terus mendorong kita ke arah sebaliknya.

Seseorang mungkin terbangun setiap hari dengan perasaan yang sama; “Aku lelah, tapi aku masih ingin bertahan.” Ia tahu bahwa hubungan itu tidak lagi terasa aman, tidak lagi memberikan ketenangan seperti dulu. Tapi ada bagian dari dirinya yang tetap ingin percaya bahwa semuanya bisa kembali seperti semula. Ada keyakinan yang ia pegang kuat-kuat, seakan itu satu-satunya bukti bahwa cinta ini masih layak diperjuangkan. Namun, semakin keras ia berpegang pada harapan itu, semakin besar jarak antara kenyataan dan keinginannya.

Di sisi lain, konflik batin itu perlahan menekan kesehatan psikisnya. Ia mulai meragukan dirinya sendiri, mempertanyakan apakah ia terlalu sensitif, terlalu banyak menuntut, atau mungkin tidak cukup baik. Ia mencoba mengubah perilaku, meredam kemarahan, mengabaikan kekecewaan—semua demi mempertahankan seseorang yang ia takut kehilangan. Di sinilah kondisi mentalnya mulai rapuh. Ia tidak hanya berjuang mempertahankan hubungan, tapi juga mempertahankan dirinya sendiri agar tidak hancur dari dalam.

Sementara itu, pasangannya mungkin tidak menyadari betapa dalam luka yang tercipta. Atau mungkin ia menyadari, tapi ia pun sedang memerangi ketidaksesuaiannya (dissonance) sendiri. Ia mungkin merasa mencintai, tetapi juga tidak mampu memberikan apa yang dibutuhkan oleh pasangan. Ia tahu ada hal yang salah dalam hubungan itu, tapi ia menenangkan dirinya dengan alasan bahwa semua hubungan pasti melewati masa sulit. Ia ingin menjadi pasangan yang lebih baik, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Atau mungkin, di balik sikapnya yang dingin atau acuh, tersembunyi ketakutan untuk terhubung terlalu dalam. Mereka berdua sama-sama berjuang, namun dengan arah yang berbeda.

Cognitive dissonance membuat seseorang bertahan meski hatinya terluka. Ia mencoba menciptakan alasan-alasan untuk membenarkan situasi yang menyakitkan seperti “Dia marah karena lelah,” “Aku pasti salah,” “Ini cuma fase,” atau yang paling menyayat, “Mungkin memang aku yang tidak pantas dicintai lebih baik.” Semakin kuat ia berusaha meyakinkan dirinya, semakin besar tekanan yang menghimpit jiwanya. Secara perlahan ia kehilangan rasa aman, kehilangan harga diri, bahkan kadang kehilangan dirinya sendiri.

Namun dissonance bukan hanya tentang rasa sakit. Di balik kekacauan itu, ada kejujuran yang ingin keluar—kejujuran bahwa seseorang sebenarnya menginginkan hubungan yang membahagiakan, bukan hubungan yang membuatnya merasa sendirian meski tidak pernah ditinggalkan. Ia ingin didengarkan, dipahami, diterima tanpa harus menyakiti dirinya sendiri demi menjaga kedamaian semu.

Hubungan yang dipenuhi cognitive dissonance sering berubah menjadi medan tarik-ulur, ingin pergi tapi takut kehilangan atau ingin bertahan tapi terus merasa tersesat. Dua orang saling mencintai, namun cinta itu perlahan berubah menjadi beban karena tidak lagi selaras dengan kebutuhan batin masing-masing. Ketika salah satu merasa semakin kosong dan yang lain merasa semakin bingung, hubungan itu mulai kehilangan arah.

Tapi sebenarnya, dissonance memberi kita pesan penting bahwa ada sesuatu yang tidak lagi sejalan antara siapa kita, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita jalani. Ketika suara hati dan kenyataan tidak lagi beriringan, tubuh dan pikiran akan terus memberi sinyal sampai kita berani melihatnya. Terkadang, keberanian terbesar bukanlah bertahan, bukan pula pergi—melainkan mengakui bahwa kita terluka. Mengakui bahwa cinta seharusnya tidak membuat kita merasa kecil, takut, atau kehilangan jati diri.

Cognitive dissonance dalam hubungan bukan tanda bahwa seseorang lemah. Justru, itu tanda bahwa ia mencintai sangat dalam hingga ia rela menahan sakit demi harapan kecil yang tersisa. Tapi pada satu titik, seseorang harus memilih dirinya sendiri. Karena hubungan hanya bisa pulih ketika kedua hati dan pikiran kembali selaras—bukan dengan mengorbankan salah satu pihak, tetapi dengan keberanian untuk jujur kepada diri sendiri dan juga satu sama lain.

Pada akhirnya, hubungan yang sehat bukan hubungan tanpa konflik, tapi hubungan yang mampu membuat masing-masing individu tetap waras, tetap utuh, dan tetap merasa layak dicintai tanpa harus melawan dirinya sendiri. Dan ketika hati dan pikiran akhirnya menemukan keseimbangan itu, cinta pun bisa kembali tumbuh—bukan dari penyangkalan, tapi dari kejujuran emosional yang selama ini tertahan.

Wildan Mubaarak Kamis, November 20, 2025
Read more ...



Masyarakat Jepang memiliki banyak istilah untuk menggambarkan kondisi mental, mulai dari perasaan murung ringan hingga gangguan yang sangat serius. Istilah-istilah ini bukan hanya sekadar kata, tetapi mencerminkan cara pandang budaya Jepang terhadap kesehatan jiwa.

Salah satu istilah yang paling dikenal adalah utsubyō (うつ病). Utsubyō, yaitu penyakit kronis yang membuat penderitanya tidak bisa bekerja. Utsubyō juga istilah yang mewakili gejala depresi dan skizofrenia dalam budaya Jepang. Penderitanya sering terlihat seperti “malas bekerja”, padahal kenyataannya mereka sedang berjuang melawan kelelahan mental yang sangat berat, sulit berkonsentrasi, dan perasaan hampa yang tak hilang. Kondisi ini mempengaruhi produktivitas, hubungan sosial, dan kualitas hidup secara menyeluruh.

Selain istilah utsubyō, dalam budaya Jepang juga memiliki istilah emosional yang menggambarkan perasaan ketika berduka dan kesuraman pada tubuh dan jiwa, salah satunya yūutsu (憂鬱). Yūutsu mengacu pada perasaan suram, sedih, atau berat di dalam hati maupun tubuh. Ini bukan gangguan klinis, tapi lebih pada perasaan yang membuat seseorang merasa tidak bersemangat. Walaupun biasanya bersifat sementara, rasa yūutsu yang berkepanjangan bisa menjadi tanda awal depresi.

Lalu ada dua istilah yang serupa dengan Yūutsu. Ki ga fusagu (気が塞ぐ) digunakan ketika seseorang merasa seperti terhalang secara batin—seolah ada dinding yang menekan perasaan mereka. Mirip dengannya, ki ga meiru (気がめいる / 気が滅入る) menggambarkan kondisi ketika seseorang merasa kelelahan emosional, seperti energi yang bocor dan hilangnya energi. Perasaan putus asa, lelah tanpa sebab fisik, dan kesulitan untuk bangkit kembali sering dikaitkan dengan istilah ini. Kedua ungkapan tersebut menunjukkan bahwa kesehatan mental tidak melulu soal diagnosis, tetapi tentang perubahan energi batin yang dapat dirasakan oleh siapa saja.

Ketika kita membicarakan dunia kerja di Jepang, kita akan menemukan istilah yang jauh lebih serius. Karōshi (過労死) berarti kematian yang disebabkan oleh kerja berlebihan. Ini terjadi pada mereka yang mengalami kelelahan ekstrem, kurang tidur kronis, tekanan pekerjaan yang berat, atau stres yang tidak pernah diatasi. Karōshi biasanya terjadi akibat masalah fisik seperti serangan jantung atau stroke, tetapi akar masalahnya adalah sistem kerja yang menuntut seseorang bekerja melampaui batas manusiawi.

Lebih tragis lagi, ada istilah karōjisatsu (過労自殺), yaitu bunuh diri yang dipicu oleh tekanan pekerjaan yang sangat berat. Orang yang mengalami karōjisatsu biasanya berada di bawah stres berkepanjangan, mengalami pelecehan di tempat kerja (power harassment), atau merasa tidak ada jalan keluar dari tuntutan kerja yang tidak manusiawi. Istilah ini menggambarkan sisi paling gelap dari budaya kerja Jepang, di mana tanggung jawab dan disiplin kadang melampaui batas hingga mengorbankan kesehatan mental dan nyawa seseorang.

Meskipun istilah-istilah seperti yūutsu, ki fa fusagu, dan ki ga meiru memiliki makna yang tumpang tindih dengan depresi, secara bahasa juga mewakili sensasi tubuh seperti sakit kepala, sesak di dada, dan rasa berat di kepala. Sementara depresi, secara bahasa Inggris lebih bermuatan emosional.

Terakhir ada istilah masih menjadi perdebatan hingga sekarang, yaitu kokoro no kaze (こころの風邪), atau “cold of the soul”, sering dikaitkan dengan proyek megamarketing saat GlaxoSmithKline (GSK) memperkenalkan antidepresan Paxil (SSRI, paroxetin) di Jepang pada awal 2000-an. Pada masa itu, perusahaan farmasi berusaha mengubah cara masyarakat memandang depresi—dari kondisi yang dianggap memalukan dan berat menjadi sesuatu yang “umum, ringan, dan bisa menyerang siapa saja,” layaknya flu. Kampanye edukasi publik yang besar-besaran ini bertujuan mengurangi stigma sehingga lebih banyak orang berani mencari bantuan medis, namun sekaligus memperluas pasar potensial bagi obat antidepresan baru. 

Wacana tentang “depresi sebagai cold of the soul” menyebar luas melalui media, seminar medis, dan materi edukasi. Di satu sisi, istilah ini membantu masyarakat memahami bahwa kesehatan mental adalah bagian dari kesehatan sehari-hari; tetapi di sisi lain, kritik muncul karena pendekatan tersebut dinilai menyederhanakan depresi secara berlebihan dan berpotensi menjadi alat pemasaran yang kuat untuk meningkatkan penjualan Paxil, sehingga memicu perdebatan panjang mengenai batas antara edukasi kesehatan dan promosi komersial.

Semua istilah di atas menunjukkan betapa luasnya spektrum kesehatan mental dalam budaya Jepang—mulai dari kesuraman ringan hingga kondisi yang mengancam nyawa. Bahasa mereka lebih spesifik, memberi kita cara untuk memahami perasaan yang sulit dijelaskan. Di dalamnya terdapat pengakuan bahwa manusia bisa merasa kewalahan oleh tekanan hidupnya.

Pada akhirnya, istilah-istilah ini mengingatkan kita bahwa kesehatan jiwa adalah bagian penting dari kehidupan. Perasaan murung atau kehilangan energi bukanlah kelemahan, melainkan sinyal bahwa kita perlu istirahat, mendapat dukungan, atau mencari bantuan profesional. Dengan memahami istilah tersebut, kita bisa lebih peka terhadap diri sendiri dan orang lain, serta menyadari bahwa setiap orang membutuhkan ruang untuk bernapas dan memulihkan diri.


Wildan Mubaarak Rabu, November 19, 2025
Read more ...


Pernahkah kita secara tidak sadar menyakiti diri kita dalam kehidupan sehari-hari, kondisi psikologis ini dikenal dengan Body-Focused Repetitive Behaviors (BFRB). Berbeda dengan Self-Harm, BFRB adalah perilaku merusak tubuh yang terjadi secara otomatis dan tanpa niat untuk melukai diri, biasanya sebagai respons kebiasaan atau stres ringan, sedangkan self-harm adalah tindakan menyakiti diri yang dilakukan dengan sengaja untuk meredakan tekanan emosional.

Banyak dari kita yang belum populer dengan istilah ini, padahal perilakunya cukup sering terjadi di sekitar kita, bahkan mungkin kita pernah melakukannya tanpa sadar. Contoh yang paling umum adalah mencabut rambut, menggaruk atau mengupas kulit hingga luka, dan menggigit kuku secara berlebihan. Sekilas, perilaku ini terlihat seperti kebiasaan biasa yang bisa dihentikan kapan saja. Namun kenyataannya, bagi sebagian orang, kebiasaan ini muncul tanpa mereka sadari dan sulit sekali dikendalikan.

Salah satu alasan mengapa BFRB sering tidak dipahami adalah karena masyarakat cenderung menganggapnya sebagai perilaku yang bisa dihentikan dengan kemauan. Banyak penderita justru merasa disalahkan atau dianggap aneh, padahal mereka sendiri juga bingung mengapa sulit menghentikannya. Akibatnya, tidak sedikit orang yang memilih menyembunyikan perilakunya karena merasa malu atau takut dinilai negatif oleh orang lain.

BFRB bisa memberikan dampak yang cukup serius. Secara fisik, seseorang bisa mengalami kerusakan pada kulit, rambut, atau bagian tubuh lain akibat tindakan berulang tersebut. Rambut bisa menjadi tipis, kulit bisa terluka, bahkan lebih parahnya muncul risiko infeksi. Secara emosional, penderitanya sering merasa bersalah, frustasi, atau kehilangan kepercayaan diri karena tidak mampu mengontrol kebiasaan yang mereka lakukan.

Penyebab BFRB sendiri tidak sederhana. Faktor stres, kecemasan, atau tekanan emosi sering menjadi pemicu utama. Selain itu, ada juga faktor biologis yang membuat tubuh seseorang lebih sensitif terhadap dorongan tertentu. Tidak jarang, kebiasaan ini mulai muncul sejak masa remaja, yaitu saat seseorang sedang mengalami banyak perubahan fisik maupun emosional.

Meski demikian, kondisi ini bisa diatasi. Dengan beberapa cara yang dapat membantu mengurangi perilaku BFRB. Salah satu metode yang cukup efektif adalah Habit Reversal Training, yaitu latihan untuk mengenali situasi pemicu dan mengganti perilaku tersebut dengan aktivitas lain yang lebih aman. Cognitive Behavioral Therapy (CBT) atau Terapi Perilaku Kognitif juga membantu penderita memahami pola pikir dan emosi yang memengaruhi perilaku tersebut. Selain itu, teknik seperti meditasi dan latihan pernapasan dapat membantu meredakan stres yang sering menjadi pemicu BFRB.

Yang tidak kalah penting adalah dukungan dari lingkungan sekitar. Penderita BFRB membutuhkan pemahaman, bukan kritik. Ketika mereka merasa diterima dan didukung, proses pemulihan akan menjadi lebih mudah. Stigma yang masih melekat pada gangguan psikologis membuat banyak penderita enggan mencari bantuan, padahal bantuan profesional bisa memberikan perubahan besar. Secara keseluruhan, BFRB adalah kondisi yang nyata dan perlu dipahami dengan serius.

Menganggapnya sebagai kebiasaan buruk hanya akan membuat penderita merasa semakin tertekan. Dengan mengenali gejala dan memahami penyebabnya, kita dapat membantu orang terdekat—atau mungkin diri sendiri—untuk mendapatkan bantuan yang tepat. Semakin banyak orang mengetahui tentang BFRB, semakin besar pula harapan bagi para penderita untuk menjalani hidup dengan lebih nyaman dan percaya diri.
Wildan Mubaarak Selasa, November 18, 2025
Read more ...

Di tengah dunia yang dipenuhi standar kecantikan yang kian sempit, banyak orang tumbuh dengan perasaan bahwa tubuh mereka tidak pernah cukup baik. Citra tubuh yang rendah atau low body image, bukan hanya tentang ketidakpuasan terhadap penampilan, tetapi tentang luka psikologis yang pelan-pelan terbentuk dari pandangan sosial dan budaya yang memuja kesempurnaan. Cermin yang seharusnya memantulkan realitas justru berubah menjadi alat yang mendistorsi diri—seolah apa pun yang terlihat tidak layak, tidak indah, tidak pantas.

Low body image adalah kondisi ketika seseorang melihat tubuhnya secara negatif dan tidak realistis. Ia memengaruhi cara seseorang menilai nilai dirinya sendiri, membuat tubuh dijadikan ukuran utama harga diri. Kondisi ini tidak muncul dalam semalam. Ia terbentuk dari komentar orang tua tentang berat badan, candaan teman sebaya, perbandingan dengan figur yang dilihat di media sosial, dan tekanan sosial untuk memenuhi standar “cantik”. Pada titik tertentu, cantik bukan lagi sekadar keinginan, tetapi tuntutan yang melukai.

Secara psikologis, low body image berdampak luas. Banyak individu merasa terjebak dalam kecemasan sosial. Mereka mulai menghindari kehidupan sosial, merasa tidak pantas berada di keramaian atau kehilangan kepercayaan diri hanya karena merasa tubuhnya “salah”. Rasa tidak puas terhadap tubuh bertransformasi menjadi rasa tidak puas terhadap diri secara keseluruhan, menimbulkan perasaan gagal, malu, dan tidak berharga.

Dalam banyak kasus, low body image juga melahirkan obsesi terhadap kesempurnaan fisik. Seseorang bisa terus-menerus memandangi kekurangan kecil pada tubuhnya, merasakan kebutuhan kompulsif untuk memperbaiki sesuatu yang sebenarnya tidak bermasalah. Pikiran mengenai tubuh menguasai hari-hari mereka: apa yang harus dimakan, bagaimana tampil, bagaimana menghindari penilaian orang lain. Tubuh menjadi medan perang yang dipenuhi kritik.

Di sinilah low body image dapat berkembang menjadi perilaku berbahaya. Untuk mencapai tubuh ideal versi mereka—atau versi dunia di sekitar mereka—banyak individu mulai melakukan diet ekstrem, olahraga kompulsif, atau bahkan menghindari makanan sama sekali. Bila pola ini terus berlangsung, risiko berkembangnya gangguan makan seperti Anoreksia Nervosa dan Body Dysmorphic Disorder (BDD)gangguan psikologis ketika seseorang memiliki obsesi berlebihan terhadap satu atau lebih kekurangan pada tubuhnya. Dua gangguan psikologis yang sering saling berkaitan, terutama pada individu yang memiliki citra tubuh rendah (low body image).

Konsepsi ini sejalan dengan buku “Cantik Itu Luka” karya Eka Kurniawan. Cantik, dalam gambaran budaya saat ini, sering kali bukan membawa kebahagiaan, tetapi tekanan, kecemasan, dan rasa tidak aman. Upaya menjadi cantik kerap membuat seseorang mengorbankan kesehatan, kebebasan, dan ketenangan batin. Namun penting dipahami bahwa luka ini bukan tidak bisa sembuh. Dengan edukasi, dukungan sosial, terapi psikologis, dan rekonstruksi makna cantik—dari yang membatasi menjadi yang memberdayakan—seseorang dapat berdamai dengan tubuhnya dan mulai melihat dirinya bukan dari kekurangan, tetapi dari keberadaannya sebagai manusia yang layak dicintai.

Meskipun low body image umumnya berdampak negatif, dalam beberapa kasus kondisi ini dapat memunculkan dampak positif tidak langsung, seperti meningkatnya motivasi untuk hidup lebih sehat, tumbuhnya kesadaran diri terhadap pola pikir dan pengaruh lingkungan, serta berkembangnya empati terhadap orang lain yang mengalami hal serupa. Selain itu, perasaan tidak puas pada tubuh dapat menjadi titik awal bagi seseorang untuk mencari bantuan profesional atau memulai perjalanan pengembangan diri, sehingga membawa perubahan positif jika diolah dengan cara yang sehat dan didukung lingkungan yang tepat.

Pada akhirnya, bukan berarti kecantikan selalu menyakitkan. Ia mengingatkan kita bahwa kecantikan yang didefinisikan oleh dunia luar sering kali melukai, tetapi kecantikan yang didefinisikan dari dalam diri dapat menyembuhkan. Tubuh bukan musuh; ia adalah rumah. Dan setiap rumah, dengan segala bentuk dan lukanya, tetap berharga untuk dirawat dan dihargai.

Wildan Mubaarak Minggu, November 16, 2025
Read more ...

Setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam merasakan, memproses, dan menanggapi dunia di sekitarnya. Ada yang bisa menjalani hari dengan tenang meski berada di tengah keramaian, ada pula yang merasa mudah kewalahan hanya karena suasana terlalu bising atau penuh tekanan. Individu yang termasuk dalam kelompok kedua sering kali disebut sebagai Highly Sensitive Person (HSP), yaitu orang yang memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap rangsangan, baik dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri.

Istilah Highly Sensitive Person pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Dr. Elaine N. Aron yang juga seorang HSP pada tahun 1990-an dalam bukunya yang berjudul The Highly Sensitive Person: How to Thrive When The World Overwhelms You. Menurutnya, sekitar 20% populasi dunia memiliki karakteristik ini. Sepanjang hidupnya, Elaine merasa dirinya sangat unik karena sensitivitas yang dimilikinya. Ia menyebarkan angket ke ribuan orang mengenai sensitivitas dan mewawancarai ratusan orang yang merasa sangat sensitif atas rangsangan fisik, intelektual, dan emosional. Dari hasil penelitiannya, tercetuslah istilah HSP untuk menggambarkan sekelompok manusia yang memiliki sensitivitas tinggi daripada manusia umumnya. 



Seorang HSP memiliki sistem saraf yang lebih sensitif, sehingga cenderung memproses informasi, perasaan, dan pengalaman dengan cara yang lebih mendalam dibanding kebanyakan orang. Mereka lebih peka terhadap perubahan suasana hati orang lain, mudah menangkap detail kecil, dan sering kali berpikir panjang sebelum bertindak. Tingkatan sensitivitasnya berbeda-beda, ada yang sekedar lebih sensitif dari kebanyakan orang, ada juga yang sangat sensitif sehingga mereka sering menghindar dari banyak stimulus dari luar dan memilih berdiam diri di kamar. Maka dari itu seorang HSP sering disebut sebagai pemalu dan introvert, padahal itu merupakan tiga hal yang berbeda.

Untuk mengidentifikasikan seseorang HSP atau bukan, ada beberapa pertanyaan yang disusun oleh Dr. Elaine N. Aron.

  • Apakah anda mudah kewalahan oleh hal-hal seperti lampu terang, bau yang kuat, tekstur barang kasar, atau suara sirine?
  • Apakah anda memiliki kehidupan batin yang kaya dan kompleks?
  • Ketika masih kecil, apakah orang tua atau guru menilai anda sebagai orang yang sensitif atau pemalu?
  • Apakah anda melihat segala hal dengan sangat detail (kondisi ruangan, gestur, dan ekspresi lawan bicara)?
  • Apakah anda mudah mendeteksi emosi orang lain dan terpengaruh suasana hati mereka?
  • Pada hari-hari yang padat dan sibuk, apakah anda perlu menarik diri ke tempat tidur atau kamar yang gelap atau tempat lain di mana anda dapat memiliki privasi dan kelegaan dari situasi tersebut?
  • Apakah anda bingung ketika harus melakukan banyak hal dalam waktu yang singkat?
  • Apakah anda berusaha menghindari film-film yang mengandung unsur kekerasan seperti pembunuhan?
  • Apakah anda berusaha mengatur hidup anda agar terhindar dari situasi yang membuat kesal atau mendapatkan stimulus yang berlebihan?
  • Apakah anda menikmati atau memperhatikan aroma, rasa, suara, atau karya seni yang indah?

Jika menjawab “ya” pada hampir seluruh pertanyaan, bisa dikatakan anda seorang HSP, untuk mengetahui lebih detailnya disarankan untuk mengunjungi laman resmi HSP di internet (hsperson.com) yang dibuat Elaine untuk membantu para HSP memahami dirinya. Ada juga tes yang membantu apakah anda seorang HSP atau bukan. 

HSP memiliki aktivitas saraf yang jauh lebih aktif daripada kebanyakan orang. Menerima stimulus dalam bentuk apapun (suara, sentuhan, visual, bau, suhu, intelektual, dan perasaan) akan membuat mereka mengalami banyak sensasi, baik itu fisik maupun psikis. Hal ini disebut sebagai Overexcitabilities (OEs), yakni kondisi tubuh yang lebih sensitif dan peka daripada orang kebanyakan. Tak jarang, sifat ini juga membuat HSP memiliki jiwa seni dan kreativitas yang tinggi, karena mereka mampu menangkap keindahan dalam hal-hal sederhana. Kepekaan yang dimiliki seorang HSP sebenarnya merupakan bentuk kedalaman emosional dan kesadaran yang tinggi.

Di satu sisi, sensitivitas membuat mereka lebih berempati karena sangat mudah untuk memahami orang lain. Di sisi lain, mereka tidak dapat mengendalikan empati tersebut. HSP kerap menyerap emosi negatif dari orang-orang di sekitar mereka, menjadi spons yang menyerap semua kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan orang lain. Kemampuan inilah yang menyebabkan mereka mudah kewalahan ketika harus bertemu banyak orang. Hal ini bisa terjadi karena manusia memiliki sistem yang bernama mirror neuron system, jaringan sel saraf di otak yang aktif baik saat seseorang melakukan suatu tindakan maupun saat ia mengamati orang lain melakukan tindakan yang sama. Dengan kata lain, neuron-neuron ini “mencerminkan” perilaku yang dilihat, seolah-olah otak ikut melakukan hal tersebut.

Penerimaan diri menjadi kunci utama. Ketika seorang HSP mampu memahami dan menghargai kepekaannya, mereka akan melihat bahwa sifat ini bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Dunia membutuhkan orang-orang yang peka — mereka yang bisa merasakan kedalaman emosi, memahami makna di balik setiap peristiwa, dan membawa empati di tengah kerasnya kehidupan modern. Orang-orang New Age menyebut HSP sebagai empaths atau old souls — orang yang memiliki getaran energi lembut, empati tinggi, dan kemampuan alami untuk menyembuhkan diri maupun orang lain.

Andai saja semua orang memliki sensitivitas yang tinggi, dunia ini pasti akan menjadi dunia yang indah dan penuh keramahan. Tidak ada yang menyakiti satu sama lain. Semua orang akan saling membatu untuk menetralkan emosi negatif dari orang yang hatinya terluka. Tidak ada kekerasan. Tidak ada hiruk pikuk karena semua orang senang ketenangan. Tidak ada peperangan karena HSP tidak menyukai suara bising sirine, bunyi ledakan bom, dan zat kimia yang digunakan untuk pembunuhan massal.

Menjadi Highly Sensitive Person berarti memiliki kemampuan untuk melihat dan merasakan dunia dengan cara yang lebih lembut dan mendalam. Di balik kepekaan itu, tersimpan potensi besar untuk menghadirkan kebaikan, keindahan, dan ketulusan yang sering kali dibutuhkan oleh dunia yang sibuk dan penuh tekanan seperti sekarang ini.


Wildan Mubaarak Kamis, November 13, 2025
Read more ...
 
 
Sejak kecil, banyak laki-laki tumbuh dengan pesan yang sama: “jangan menangis”, “harus kuat”, “jangan terlihat lemah”. Kalimat-kalimat sederhana itu sering dianggap sebagai bentuk pendidikan agar anak laki-laki menjadi tangguh. Namun, di balik maksud baik tersebut, tersembunyi tekanan sosial yang besar. Tekanan itu membuat banyak laki-laki terjebak dalam apa yang disebut toxic masculinity atau “jebakan maskulinitas” (masculinity trap) — sebuah konsep yang membuat laki-laki susah membahas hal-hal yang bersifat emosional. Oleh sebab itu, kebanyakan pria mengalihkan beban emosi mereka ke gitar, sepakbola, rokok, dan perilaku agresif.

Toxic masculinity bukan berarti semua bentuk maskulinitas itu buruk. Maskulinitas bisa menjadi hal yang positif: keberanian, tanggung jawab, dan keteguhan adalah nilai yang baik. Namun, ketika maskulinitas dipahami secara sempit — hanya sebagai kekuatan fisik, dominasi, dan kendali atas orang lain — ia berubah menjadi racun. Racun yang tidak hanya menyakiti diri sendiri, tetapi juga orang di sekitar. Laki-laki yang terus-menerus ditekan untuk terlihat kuat akhirnya kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara sehat. Mereka takut terlihat rapuh, takut dianggap gagal sebagai pria. 

Budaya dan media memperkuat jebakan ini. Film, iklan, dan musik sering menggambarkan pria ideal sebagai sosok yang dingin, tangguh, dan tak tersentuh oleh perasaan. Jarang sekali ditunjukkan laki-laki yang menangis tanpa dipermalukan. Akibatnya, banyak pria tumbuh dengan keyakinan bahwa kerapuhan (vulnerability) merupakan "aib". Padahal, emosi adalah bagian alami dari manusia — bukan kelemahan. Ketika emosi ditekan terlalu lama, dampaknya bisa serius: stres, depresi, bahkan kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Seperti halnya perempuan, laki-laki juga memiliki emosi. Tidak ada istilah perempuan lebih emosional dibandingkan laki-laki. Hal ini juga serupa dengan fakta bahwa perempuan itu makhluk seksual, sama seperti laki-laki. Pembagian dua kelompok yang saling bertentangan seperti itu hanyalah konsepsi masyarakat yang menginginkan laki-laki harus selalu terlihat kuat dan menuntut perempuan agar lebih sopan.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih jarang mencari bantuan psikologis dibandingkan perempuan karena takut dianggap “lemah”. Ini adalah salah satu bukti nyata bagaimana toxic masculinity menjerat mereka. Di sisi lain, konsep maskulinitas beracun juga melanggengkan kekerasan dan ketimpangan gender. Laki-laki yang menganggap kekuasaan sebagai ukuran kejantanan sering memandang perempuan lebih rendah, dan dari sinilah muncul perilaku agresif, pelecehan, atau dominasi yang tidak sehat. Dengan kata lain, toxic masculinity bukan hanya masalah pribadi, tapi juga masalah sosial.

Dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat, harusnya kita sadar dan mulai berani membongkar standar lama itu. Banyak platform media sosial dan gerakan kesetaraan gender membuka ruang diskusi tentang pentingnya menjadi laki-laki yang autentik — yang berani menunjukkan perasaan, menghargai orang lain, dan jujur pada dirinya sendiri. Banyak kampanye publik mulai berbicara tentang kesehatan mental dan pentingnya kerentanan sebagai bentuk keberanian baru. Menangis bukan lagi tanda kelemahan, melainkan ekspresi kemanusiaan.

Melepaskan diri dari masculinity trap memang tidak mudah. Masyarakat telah lama menanamkan nilai-nilai maskulinitas konvensional yang kuat. Kita sebagai gernerasi muda dapat mengajarkan kepada anak laki-laki kita bahwa empati dan kelembutan bukanlah sifat yang memalukan. Sekolah dapat memberi ruang bagi pendidikan emosional dan gender yang seimbang. Dan yang paling penting, dimulai dari kita (pria) dengan memberi izin pada diri sendiri untuk menjadi manusia—bukan hanya sekadar simbol kekuatan.

Perubahan dimulai dari kesadaran. Kini, kebiasaan harus diubah. Orang ingin hidup bebas dari kepalsuan dengan mengedepankan authenticity dan vulnerability (keaslian dan kerapuhan). Menjadi laki-laki seharusnya tidak berarti menekan emosi, mendominasi, atau berpura-pura sempurna. Menjadi laki-laki adalah tentang keberanian untuk jujur pada diri sendiri, untuk merasa, dan untuk peduli. Maskulinitas tidak harus dihapus, tetapi perlu didefinisikan ulang: bukan lagi sebagai bentuk kekuasaan, melainkan tanggung jawab dan empati. Dengan begitu, kita semua — baik laki-laki maupun perempuan — bisa bebas dari jebakan peran yang mengekang dan hidup dengan lebih manusiawi.



Wildan Mubaarak Rabu, November 12, 2025
Read more ...

https://idn.freepik.com/vektor/depresi

Depresi Adalah Penyakit Nyata. Depresi, kecemasan, panik, dan bipolar sebenarnya termasuk penyakit mental, atau mental illness. Jika kita mendengar kata “sakit” dan “mental” sering kali terdengar menakutkan. Banyak orang langsung membayangkan orang-orang yang dikurung di rumah sakit jiwa atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang berkeliaran di jalanan. Padahal, sakit mental tidak selalu seperti itu. Sakit mental bisa berarti seseorang tidak berfungsi secara optimal sebagai manusia, misalnya merasa sangat sedih, kehilangan semangat, atau sedang berada dalam episode depresi klinis. Secara sederhana, depresi adalah gangguan yang melibatkan tubuh, pikiran, dan lingkungan sosial seseorang. Secara biologis, depresi bisa dipengaruhi oleh faktor genetik, struktur otak, dan zat kimia dalam tubuh. Secara psikologis, depresi membuat suasana hati terasa buruk dalam waktu lama. Sementara secara sosial, depresi bisa muncul karena hubungan dengan orang lain atau lingkungan sekitar. Ada juga yang melihat depresi dari sisi spiritual — ketika seseorang merasa kehilangan makna atau arah hidupnya. Sayangnya, masih banyak orang yang menganggap remeh sakit mental. Kalau kita sakit fisik, biasanya orang akan menyarankan untuk istirahat, makan yang bergizi, atau memberi dukungan agar cepat sembuh. Tapi kalau kita bilang sedang depresi atau “sakit mental”, sering kali responnya berbeda. Ada yang bilang kita terlalu lemah, kurang bersyukur, atau hanya mencari perhatian. Padahal, depresi bukan soal mental yang lemah, melainkan kondisi yang nyata dan bisa dialami siapa pun. Orang yang mengalami depresi sering terlihat “baik-baik saja”. Mereka masih bisa tersenyum, bercanda, atau bekerja seperti biasa, padahal di dalam pikirannya sedang ada banyak kekacauan. Depresi juga tidak selalu punya penyebab yang jelas. Kadang muncul karena peristiwa yang sudah lama berlalu, bahkan karena hal kecil yang dianggap sepele oleh orang lain. Masalahnya bukan seberapa kecil atau remeh peristiwa yang dialami, tapi bagaimana perasaan seseorang menanggapinya (masuk ke pemahaman stressor). Saat seseorang mengalami gangguan depresi mayor, pikiran dan perasaannya jadi sulit dikendalikan. Ingatan buruk, rasa bersalah, dan kata-kata negatif bisa terus berputar di kepala. Hal ini menyebabkan suasana hati menurun, energi berkurang, dan tubuh terasa lelah. Gejalanya bisa berupa kehilangan nafsu makan, sulit tidur, merasa hampa, atau tidak punya harapan selama lebih dari dua minggu. Untuk memastikan seseorang mengalami depresi, dibutuhkan pemeriksaan dari psikolog atau psikiater. Menurut buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), seseorang bisa dikatakan mengalami depresi jika mengalami lima atau lebih gejala berikut selama setidaknya dua minggu: * Suasana hati yang sedih hampir setiap hari (Depressed Mood). * Kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu menyenangkan. * Berat badan naik atau turun tanpa alasan jelas. * Susah tidur atau justru tidur berlebihan. * Bergerak dan berbicara jadi lebih lambat, atau malah gelisah terus. * Mudah lelah dan kehilangan energi. * Merasa tidak berharga atau bersalah berlebihan. * Sulit fokus dan mengambil keputusan. * Sering muncul pikiran tentang kematian atau keinginan mengakhiri hidup. Dua gejala utama yang paling sering muncul adalah perasaan sedih yang sangat mendalam (Depressed Mood) dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu disukai. Kalau kedua gejala ini muncul disertai beberapa gejala lain selama dua minggu atau lebih, sebaiknya segera konsultasikan ke profesional (psikolog atau psikiater). Depresi bukan penyakit yang datang lalu pergi begitu saja. Ia bisa bertahan lama, bahkan bertahun-tahun, dan perlahan menggerogoti kewarasan seseorang. Jika tidak ditangani, depresi bisa membuat seseorang kehilangan kendali atas pikiran dan emosinya, seperti terjebak dalam lubang hitam yang sama berulang kali. Kondisi ini disebut episode depresi mayor, yang bisa berlangsung dari dua minggu hingga dua tahun. Setelah sembuh pun, peluang untuk kambuh kembali cukup besar — lebih dari 80%. Orang yang pernah mengalami depresi bisa mengalaminya beberapa kali seumur hidup. Setiap episode bisa berlangsung sekitar lima bulan atau lebih lama. Biasanya, ini terjadi karena proses penyembuhan belum benar-benar tuntas. Kadang seseorang merasa sudah pulih, tapi masih menyimpan luka atau emosi yang belum selesai. Banyak juga yang berpura-pura baik-baik saja agar orang lain tidak khawatir. Padahal, sisa emosi negatif yang dipendam inilah yang bisa membuat depresi kambuh lagi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi mindfulness — atau meditasi yang digabungkan dengan terapi psikologi — bisa membantu mencegah kambuhnya depresi. Risiko kambuh yang semula sekitar 80% bisa turun menjadi 37%.

Depresi berbeda dengan rasa sedih biasa. Sedih biasanya datang dan pergi, tapi depresi bisa bertahan lama dan mengganggu kehidupan sehari-hari. Jika gejala depresi mulai terasa pada diri sendiri, cobalah berhenti sejenak dan dengarkan tubuh serta pikiranmu. Kalau kamu melihat tanda-tanda ini pada orang lain, jangan langsung menilai. Terkadang, perhatian kecil bisa sangat berarti bagi mereka yang sedang berjuang dalam diam.


Wildan Mubaarak Selasa, November 11, 2025
Read more ...