Pernah nggak sih, kamu sudah membuat keputusan yang sebenarnya agak maksa, tapi entah bagaimana tiba-tiba otakmu malah mendukungnya dengan penuh? Atau ego memaksa keputusan itu menjadi benar—daripada malu. Itulah yang disebut choice-supportive bias—bias kognitif yang membuat kita otomatis membela keputusan sendiri, bahkan ketika keputusan itu mungkin tidak layak dan masih ada pilihan lain yang lebih baik.
Bias ini bekerja sangat halus. Kita membeli sesuatu karena “udah terlanjur masuk keranjang”, lalu meyakinkan diri bahwa barang itu benar-benar kebutuhan primer, padahal sebenarnya kamu sendiri tidak sadar kalo dompetmu sedang menipis atau ketika kamu memilih hubungan yang… ya, mari jujur, lebih banyak dramanya daripada sinetron SCTV atau Indosiar, tetapi kamu tetap bertahan karena “aku pasti lihat sisi baiknya kok”. Iya, sisi baiknya mungkin ada, tapi ukurannya sebutir debu.
Otak kita itu lucu—kalau keputusan itu sudah terlanjur dibuat, otak merasa bertanggung jawab untuk menjaganya tetap terlihat cemerlang. Keputusan yang buruk diberi filter, diperhalus, dan disulap jadi “pilihan terbaik pada saat itu”. Semacam editing realitas dengan harapan kita tidak terlihat bodoh, bahkan di mata kita sendiri. Karena pada akhirnya, reputasi internal kita terlihat lebih penting daripada kebenaran objektif.
Masalahnya, bias ini membuat kita terlalu nyaman. Kita jadi jarang meninjau ulang kesalahan, karena semuanya sudah dicat ulang menjadi keputusan strategis. Padahal, ya, sebagian dari itu murni keputusan impulsif yang kita bungkus dengan nama intuisi. Tapi tenang, kita semua pernah di sana. Kita semua pernah membela pilihan yang bahkan kita sendiri tidak ingin akui secara penuh.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti menjadi impulsif bagi keputusan-keputusan selanjutnya. Sesekali, mari duduk, tatap pilihan kita dengan lampu putih terang tanpa filter, dan akui: “Ya, ini salah. Dan tidak apa-apa.” Dengan begitu, kita memberi ruang bagi diri sendiri untuk belajar, bukan sekadar membela. Karena hidup itu bukan tentang membuktikan bahwa kita selalu benar, tapi tentang memperbaiki ketika kita salah—meskipun, yah, ego kita mungkin akan protes sedikit.
Dan kalau egomu mulai ribut? Tenang saja. Bilang padanya: “Sabar, kita sedang upgrade.”



Tidak ada komentar: