Cognitive Dissonance: Berpisah Bukan Karena Mau Tapi Harus

Titik terdalam mencintai seseorang ialah merelakannya, benarkah demikian? Atau memang sudah tidak sejalan?

Dalam hubungan, ada masanya ketika hati dan pikiran tidak lagi berjalan searah. Kita mungkin mencintai seseorang begitu dalam—cukup dalam hingga kita memilih untuk menutup mata terhadap hal-hal yang menyakiti. Inilah dinamika paling sunyi dalam sebuah hubungan. Cognitive Dissonance, yaitu ketika logika dan perasaan saling bertentangan dan tak ada yang benar-benar menang. Kita tahu apa yang seharusnya dilakukan, namun hati terus mendorong kita ke arah sebaliknya.

Seseorang mungkin terbangun setiap hari dengan perasaan yang sama; “Aku lelah, tapi aku masih ingin bertahan.” Ia tahu bahwa hubungan itu tidak lagi terasa aman, tidak lagi memberikan ketenangan seperti dulu. Tapi ada bagian dari dirinya yang tetap ingin percaya bahwa semuanya bisa kembali seperti semula. Ada keyakinan yang ia pegang kuat-kuat, seakan itu satu-satunya bukti bahwa cinta ini masih layak diperjuangkan. Namun, semakin keras ia berpegang pada harapan itu, semakin besar jarak antara kenyataan dan keinginannya.

Di sisi lain, konflik batin itu perlahan menekan kesehatan psikisnya. Ia mulai meragukan dirinya sendiri, mempertanyakan apakah ia terlalu sensitif, terlalu banyak menuntut, atau mungkin tidak cukup baik. Ia mencoba mengubah perilaku, meredam kemarahan, mengabaikan kekecewaan—semua demi mempertahankan seseorang yang ia takut kehilangan. Di sinilah kondisi mentalnya mulai rapuh. Ia tidak hanya berjuang mempertahankan hubungan, tapi juga mempertahankan dirinya sendiri agar tidak hancur dari dalam.

Sementara itu, pasangannya mungkin tidak menyadari betapa dalam luka yang tercipta. Atau mungkin ia menyadari, tapi ia pun sedang memerangi ketidaksesuaiannya (dissonance) sendiri. Ia mungkin merasa mencintai, tetapi juga tidak mampu memberikan apa yang dibutuhkan oleh pasangan. Ia tahu ada hal yang salah dalam hubungan itu, tapi ia menenangkan dirinya dengan alasan bahwa semua hubungan pasti melewati masa sulit. Ia ingin menjadi pasangan yang lebih baik, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Atau mungkin, di balik sikapnya yang dingin atau acuh, tersembunyi ketakutan untuk terhubung terlalu dalam. Mereka berdua sama-sama berjuang, namun dengan arah yang berbeda.

Cognitive dissonance membuat seseorang bertahan meski hatinya terluka. Ia mencoba menciptakan alasan-alasan untuk membenarkan situasi yang menyakitkan seperti “Dia marah karena lelah,” “Aku pasti salah,” “Ini cuma fase,” atau yang paling menyayat, “Mungkin memang aku yang tidak pantas dicintai lebih baik.” Semakin kuat ia berusaha meyakinkan dirinya, semakin besar tekanan yang menghimpit jiwanya. Secara perlahan ia kehilangan rasa aman, kehilangan harga diri, bahkan kadang kehilangan dirinya sendiri.

Namun dissonance bukan hanya tentang rasa sakit. Di balik kekacauan itu, ada kejujuran yang ingin keluar—kejujuran bahwa seseorang sebenarnya menginginkan hubungan yang membahagiakan, bukan hubungan yang membuatnya merasa sendirian meski tidak pernah ditinggalkan. Ia ingin didengarkan, dipahami, diterima tanpa harus menyakiti dirinya sendiri demi menjaga kedamaian semu.

Hubungan yang dipenuhi cognitive dissonance sering berubah menjadi medan tarik-ulur, ingin pergi tapi takut kehilangan atau ingin bertahan tapi terus merasa tersesat. Dua orang saling mencintai, namun cinta itu perlahan berubah menjadi beban karena tidak lagi selaras dengan kebutuhan batin masing-masing. Ketika salah satu merasa semakin kosong dan yang lain merasa semakin bingung, hubungan itu mulai kehilangan arah.

Tapi sebenarnya, dissonance memberi kita pesan penting bahwa ada sesuatu yang tidak lagi sejalan antara siapa kita, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita jalani. Ketika suara hati dan kenyataan tidak lagi beriringan, tubuh dan pikiran akan terus memberi sinyal sampai kita berani melihatnya. Terkadang, keberanian terbesar bukanlah bertahan, bukan pula pergi—melainkan mengakui bahwa kita terluka. Mengakui bahwa cinta seharusnya tidak membuat kita merasa kecil, takut, atau kehilangan jati diri.

Cognitive dissonance dalam hubungan bukan tanda bahwa seseorang lemah. Justru, itu tanda bahwa ia mencintai sangat dalam hingga ia rela menahan sakit demi harapan kecil yang tersisa. Tapi pada satu titik, seseorang harus memilih dirinya sendiri. Karena hubungan hanya bisa pulih ketika kedua hati dan pikiran kembali selaras—bukan dengan mengorbankan salah satu pihak, tetapi dengan keberanian untuk jujur kepada diri sendiri dan juga satu sama lain.

Pada akhirnya, hubungan yang sehat bukan hubungan tanpa konflik, tapi hubungan yang mampu membuat masing-masing individu tetap waras, tetap utuh, dan tetap merasa layak dicintai tanpa harus melawan dirinya sendiri. Dan ketika hati dan pikiran akhirnya menemukan keseimbangan itu, cinta pun bisa kembali tumbuh—bukan dari penyangkalan, tapi dari kejujuran emosional yang selama ini tertahan.

3 komentar:

  1. Kadang luka muncul bukan hanya karena cinta yang berubah, tapi karena ketimpangan tanggung jawab. Hubungan akan selalu goyah kalau hanya satu pihak yang mau melihat, mendengar, mengakui dan belajar dari kesalahan. Setiap orang wajib menjaga kepekaan terhadap pasangannya. Ketika kita menyakiti, kita harus cukup jujur untuk mengakui. Ketika kita salah, kita harus cukup rendah hati untuk memperbaiki. Cinta yang sehat tidak menumpuk beban di satu pundak saja.

    BalasHapus
  2. Hal ini juga sebagai refleksi dalam diri apa luka batin yang masih tersimpan, sampai sering ketidak sengajaan dalam melukai orang lain, atau apa ekspetasi yang kurang bisa relevan yang dilontarkan pada pasangan yang pada umumnya memegang tanggung jawab tersebut, berpisah mungkin tidak berpisah secara jiwa tapi menjadi ruang kesempatan dalam memulihkan diri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Refleksi diri itu penting, iya. Tapi refleksi itu bukan sesuatu yang hanya dilakukan setelah melukai orang lain. Itu tanggung jawab sejak awal memilih menjalin hubungan. Kalau seseorang bilang “aku butuh ruang buat memulihkan diri,” tapi ruang itu muncul setelah dia menyakiti, setelah ekspektasi dia sendiri nggak relevan, setelah pasangannya yang kena dampaknya… itu jadi mirip pembenaran. Seakan-akan luka batinnya memodernisasi semua keputusan dia, termasuk keputusan yang bikin orang lain kewalahan. Setiap proses penyembuhan punya radius dampak. Kalau dia mengambil ruang, pihak satunya juga ikut menanggung konsekuensinya. Hubungan itu dua orang, bukan proyek solo yang satu pihak boleh tarik ulur sesuka hati. Dan ironinya, seperti kamu bilang, yang paling sering angkat bendera “butuh space buat healing” justru orang yang jadi sumber lukanya.
      Apa artinya ini sebenarnya? Responsibility itu bukan hal yang bisa disub-kontrakkan ke pasangan ketika nyaman, lalu ditarik kembali ketika keadaan memanas. Kalau seseorang tahu dirinya punya bagasi emosional, ya tugasnya membereskan dulu atau minimal jujur dan konsisten sejak awal. Bukan baru sadar setelah merusak dinamika.

      Hapus