Toxic masculinity bukan berarti semua bentuk maskulinitas itu buruk. Maskulinitas bisa menjadi hal yang positif: keberanian, tanggung jawab, dan keteguhan adalah nilai yang baik. Namun, ketika maskulinitas dipahami secara sempit — hanya sebagai kekuatan fisik, dominasi, dan kendali atas orang lain — ia berubah menjadi racun. Racun yang tidak hanya menyakiti diri sendiri, tetapi juga orang di sekitar. Laki-laki yang terus-menerus ditekan untuk terlihat kuat akhirnya kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara sehat. Mereka takut terlihat rapuh, takut dianggap gagal sebagai pria.
Budaya dan media memperkuat jebakan ini. Film, iklan, dan musik sering menggambarkan pria ideal sebagai sosok yang dingin, tangguh, dan tak tersentuh oleh perasaan. Jarang sekali ditunjukkan laki-laki yang menangis tanpa dipermalukan. Akibatnya, banyak pria tumbuh dengan keyakinan bahwa kerapuhan (vulnerability) merupakan "aib". Padahal, emosi adalah bagian alami dari manusia — bukan kelemahan. Ketika emosi ditekan terlalu lama, dampaknya bisa serius: stres, depresi, bahkan kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Seperti halnya perempuan, laki-laki juga memiliki emosi. Tidak ada istilah perempuan lebih emosional dibandingkan laki-laki. Hal ini juga serupa dengan fakta bahwa perempuan itu makhluk seksual, sama seperti laki-laki. Pembagian dua kelompok yang saling bertentangan seperti itu hanyalah konsepsi masyarakat yang menginginkan laki-laki harus selalu terlihat kuat dan menuntut perempuan agar lebih sopan.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih jarang mencari bantuan psikologis dibandingkan perempuan karena takut dianggap “lemah”. Ini adalah salah satu bukti nyata bagaimana toxic masculinity menjerat mereka. Di sisi lain, konsep maskulinitas beracun juga melanggengkan kekerasan dan ketimpangan gender. Laki-laki yang menganggap kekuasaan sebagai ukuran kejantanan sering memandang perempuan lebih rendah, dan dari sinilah muncul perilaku agresif, pelecehan, atau dominasi yang tidak sehat. Dengan kata lain, toxic masculinity bukan hanya masalah pribadi, tapi juga masalah sosial.
Dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat, harusnya kita sadar dan mulai berani membongkar standar lama itu. Banyak platform media sosial dan gerakan kesetaraan gender membuka ruang diskusi tentang pentingnya menjadi laki-laki yang autentik — yang berani menunjukkan perasaan, menghargai orang lain, dan jujur pada dirinya sendiri. Banyak kampanye publik mulai berbicara tentang kesehatan mental dan pentingnya kerentanan sebagai bentuk keberanian baru. Menangis bukan lagi tanda kelemahan, melainkan ekspresi kemanusiaan.
Melepaskan diri dari masculinity trap memang tidak mudah. Masyarakat telah lama menanamkan nilai-nilai maskulinitas konvensional yang kuat. Kita sebagai gernerasi muda dapat mengajarkan kepada anak laki-laki kita bahwa empati dan kelembutan bukanlah sifat yang memalukan. Sekolah dapat memberi ruang bagi pendidikan emosional dan gender yang seimbang. Dan yang paling penting, dimulai dari kita (pria) dengan memberi izin pada diri sendiri untuk menjadi manusia—bukan hanya sekadar simbol kekuatan.
Perubahan dimulai dari kesadaran. Kini, kebiasaan harus diubah. Orang ingin hidup bebas dari kepalsuan dengan mengedepankan authenticity dan vulnerability (keaslian dan kerapuhan). Menjadi laki-laki seharusnya tidak berarti menekan emosi, mendominasi, atau berpura-pura sempurna. Menjadi laki-laki adalah tentang keberanian untuk jujur pada diri sendiri, untuk merasa, dan untuk peduli. Maskulinitas tidak harus dihapus, tetapi perlu didefinisikan ulang: bukan lagi sebagai bentuk kekuasaan, melainkan tanggung jawab dan empati. Dengan begitu, kita semua — baik laki-laki maupun perempuan — bisa bebas dari jebakan peran yang mengekang dan hidup dengan lebih manusiawi.

